Sabtu, 05 Oktober 2013

Lagu Indah



Kisah ini aku tonton di sebuah acara salah satu stasiun televisi. Diceritakan seorang perempuan muda berusia duapuluh tahunan yang berprofesi sebagai musisi. Sebut saja namanya Siska. Musik baginya adalah piranti yang digunakannya untuk meluapkan perasaan yang tak bisa dikeluarkan lewat kata-kata. Dia sudah menyukai musik sejak dia kecil. Biola yang disandarkan pada bahunya, digesek dengan lembut mengalunkan melodi yang indah. Terbersit perasaannya yang sedang bahagia atau sedih lewat setiap gesekannya. “Tapi bagi pengamen jalanan, musik adalah piranti untuk mencari sesuap nasi,” ucapnya.

Suatu hari, Siska dan temannya menyusuri  jembatan layang. Tak sengaja dia bertubrukan dengan seorang pengamen yang buta. Gitar yang dibawanya terjatuh, Siska buru-buru memungutnya dan minta maaf pada pengamen itu. Pengamen mengangguk seraya tersenyum. Keesokan harinya, Siska melewati jembatan yang sama. Si pengamen sedang menyanyi dengan diiringi gitar kecilnya. Siska mendekatinya. Dia tertegun melihat karton yang tertempel di dekat pengamen. Karton itu bertuliskan ‘SAYA BUTA. KASIHANI SAYA.’ Baginya musik bukan sebagai piranti untuk menarik belas kasihan orang. Musik itu indah, indah dan tak pantas terbayarkan karena belas kasihan pada pemainnya, seharusnya musik terlihat bernilai dalam bentuk material karena keindahannya. Siska membalik kertas karton putih itu lantas menuliskan ‘LAGU INI INDAH MESKIPUN SAYA TAK BISA MELIHATNYA’.  Setelahnya, dia ikut mengiringi pengamen dengan gesekan biolanya. Seketika itu menarik perhatian pejalan kaki yang melewatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar