Jumat, 31 Agustus 2012

Cinta dan Waktu

Di sebuah pulau, di dalamnya ada semua macam perasaan. Ada Kebahagiaan, Kesedihan, Pengetahuan, dan bahkan Cinta. Suatu hari, pulau itu tenggelam. Semua perasaan menaiki kapal dan berlayar. Tapi hanya Cinta yang tetap bersama pulau itu sampai saat terakhir. Itu tindakan bodoh! Heh, dia naik kapal di saat-saat terakhir! Cinta memohon pada Sukses saat dia akan berlayar. Tapi Sukses menolak Cinta untuk menaiki kapalnya.
Dia bilang: "Kapalku penuh dengan harta, tak ada tempat".
Lalu Cinta pergi pada Keegoisan.
"Tolonglah, aku mohon padamu!"
Keegoisan menjawab: "Gak usah ya!"
Lalu Cinta datang pada Kesedihan, tapi dia tidak dihiraukan, karena Kesedihan ingin menyendiri. Kebahagiaan juga berlayar, tapi tak memperhatikan Cinta, karena asyik dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba, ada suara yang lantang:
"Cinta, ikutlah denganku.."
Cinta sangat senang, sampai dia lupa menanyakan nama orang yang menolongnya. Saat di darat, Cinta bertanya pada Pengetahuan: "Siapa yang membawa kita ke sini?"
Pengetahuan menjawab: “Waktu. Karena waktu membantu kita memahami betapa agungnya cinta.”

Kamis, 30 Agustus 2012

Lautan Pengorbanan Ibu

            Suara gaduh berganti dengan suasana hening tepat setelah Bu Lastri, guru fisika masuk ke kelas. Seisi kelas menjawab salam wanita bertubuh gempal itu. Salam pembukaan diiringi kalimat motivasinya seperti biasa lalu Bu Lastri hendak membagikan kertas ulangan murid-muridnya. Tapi sebelumnya, ia membacakan nilai tertinggi dan nilai terendah di kelas.
            “Nanti yang ibu sebutkan namanya maju ya untuk mengambil kertas ulangan. Yang pertama Ibu bagikan nilai tertinggi. Nilai tertinggi diraih oleh...”
            Masayu tersenyum dengan penuh percaya diri karena yakin dia yang akan meraih nilai tertinggi. Dia melongok keseluruh sisi kelas seraya memainkan ujung-ujung rambutnya yang digerai. Lihat saja jangan kaget, pasti aku  lagi yang dapet nilai tertinggi, pikirnya.
            “...dan yang memperoleh nilai tertinggi adalah Masayu. Silahkan beri tepuk tangan.
            Masayu maju dengan gaya angkuhnya dan masih dengan senyum kebanggaannya.
            “Selamat ya. Pertahankan,” ucap Bu Lastri. Masayu mengangguk.
            “Sekarang yang memperoleh nilai terendah adalah Maya.”
        Seluruh murid serentak mencemooh. Bu Lastri menenangkan. Maya terus saja menunduk. Dia sudah memprediksi kalau jadinya akan seperti ini. Dia akhir-akhir ini tidak bisa konsentrasi belajar karena tertekan oleh ejekan teman-temannya. Mulai bulan lalu, ibunya yang bisu tuli bekerja di kantin sekolah.
            “Tak apa. Sini, Nak,” bujuk Bu Lastri.
            Maya maju dengan langkah pelan tapi tiba-tiba dia terjatuh karena tersandung kaki Masayu. Masayu sengaja merentangkan kakinya untuk mengerjai Maya.
            “Makanya jalan itu juga mikir pakai otak. Udah enggak punya otak, ibunya bisu tuli lagi. Lengkap banget,” ejek Masayu sambil tertawa. Seisi kelas ikut tertawa.
            Bu Lastri menenangkan lagi.
            “Ada apa Maya? Kamu ada masalah kok sampai nilaimu bisa turun drastis seperti ini?” tanya Bu Lastri.
          Maya menggeleng lalu menunduk lagi. Sejak ibunya bekerja di kantin, teman-temannya jadi sering mencemoohnya. Hal ini membuat Maya jadi murung dan tertutup dengan teman-temannya meskipun terkadang ada yang ingin benar-benar tulus berteman dengannya tapi Maya menanggapinya dengan dingin karena baginya teman-teman di sekolahnya itu sama saja.
*****
            Kelas fisika telah usai, Maya berlari ke kamar kecil dan menangis sesenggukan disana. Dia tidak terbiasa menceritakan apa yang dialaminya pada orang lain. Semuanya dia pendam sendiri sampai terkadang dia berniat mengakhiri hidup. Setelah puas dan air matanya kering, dia keluar dari kamar kecil. Kertas ulangan yang menorehkan tinta merah membentuk angka empat puluh dia gulung hingga membuat bola kecil. Masayu yang melihat tingkahnya menabrak hingga bola kecil itu jatuh. Masayu memungutnya dan dia tersenyum licik setelah melihat isi dari kertas itu.
            “Kembalikan. Cepat kembalikan.”
Maya mengulur tangannya untuk menjangkau kertas ulangannya, tapi Masayu dan dua temannya berkelit dengan sigap sehingga bisa melarikan kertas itu. Maya hanya bisa berteriak kesal. Di waktu istirahat, dia membantu ibunya di kantin. Ada Masayu juga disitu sudah duduk dengan kedua temannya yang bersiap memesan.
“Eh anaknya si bisu dateng,” celetuknya.
Maya melirik kesal.
“Bodoh, bodoh, aku pesen mi gorengnya tiga tapi, eits jangan nyebarin virus bodohmu ke makanan kami ya.” Ejekan Masayu disambut dengan tawa kedua temannya.
            Maya mengantar pesenan Masayu. Dia dengan cepat-cepat meletakkan tiga piring berisi mie goreng ke meja Masayu. Dan dengan cepat pula Era, teman geng Masayu menempelkan kertas ulangan Maya di punggung Maya. Setelahnya mereka tertawa puas lagi. Maya hanya melihatnya dengan perasaan curiga. Ibu Maya melepas kertas ulangan itu lalu membacanya. Ibu marah dengan bahasa isyarat.
            ‘Kamu itu kenapa, Nak? Kenapa bisa dapet nilai segini? Ibu sudah kerja banting tulang sendiri untuk kamu tapi apa balesannya buat Ibu?’
            ‘Ibu harusnya bisa ngerti. Mereka selalu mengejek Maya. Maya anak bodoh dari bisu tuli yang miskin. Mereka setiap hari mengolok-olok Maya. Maya tidak tahan, Bu. Maya tidak bisa belajar kalau terus saja kepikiran dengan ini.’
            ‘Nak, balas mereka dengan prestasi. Biar saja mereka begitu. Kalau kamu bisa punya banyak prestasi pasti mereka akan berhenti mengejekmu.’
            Maya menangis lagi. Ada ruang yang sedikit lega di hatinya karena telah dikeluarkan.

****
            Bola basket memantul di lapangan basket yang bersemen. Maya mendriblenya lalu melemparkannya ke ring. Tapi tidak masuk. Masayu yang melihatnya tak melewatkan momen itu untuk dijadikan bahan ejekan lagi.
            “Yah udah bodoh, ternyata anaknya bisu tuli juga enggak becus masukin bola.”
            “Dasar kampungan. Orang miskin tuh pinternya maen gundu aja.” Era menimpal.
            Maya melempar bolanya lalu mendekati geng Masayu.
“Apa sih salahku sampai kalian selalu saja mengolokku? Apa pernah aku membuat kesalahan besar ke kalian?”
“Wowowow, Si bodoh rupanya sudah mulai berani nyolot nih,” seru Alethea.
“Salah kamu? Salah kamu itu udah bodoh, miskin, punya ibu bisu tuli. Itu salah kamu,” ungkap Masayu.
Emosi Maya serasa sudah mau keluar dari ubun-ubunnya. Dia mendorong Masayu hingga terjatuh dan seketika itu terjadi ricuh. Bu Lastri yang melihatnya segera melerai dan membawa mereka ke ruang Bimbingan Konseling. Setelahnya Ibu Maya dipanggil dan diberitahukan bahwa Maya mendapat skorsing selama seminggu karena memulai pertengkaran.
****
            ‘Apa kamu enggak bisa ngerti lagi maksud Ibu, Maya? Ibu sendirian membesarkan kamu, membiayai sekolah kamu tapi kamu malah membuat ulah.’
            Maya bersungut karena masih emosi dengan hukumannya.
            ‘Ini bukan salah Maya, Bu. Ini salah Ibu karena udah bisu tuli. Coba kalau Ibu enggak bisu tuli pasti Maya enggak akan melawan mereka. Maya udah enggak tahan diejek mereka.’ Maya berlari ke kamarnya dan membanting pintu keras-keras. Ibu mengelus dada. Tetesan air matanya membulir melewati lekuk pipinya.
****
            Skorsing membuat Maya selalu berada di kantin sepanjang hari untuk membantu ibunya. Dia menggoreng gorengan sementara ibunya membuat adonan. Mengantar pesanan dan mencuci piring setelahnya. Dia menggoreng lagi adonan yang telah dibuat ibunya. Masayu dan gengnya mendekati gorengan yang tersaji di dekat penggorengan.
            “Apaan nih?” Masayu mengernyit lalu mencomot satu buah gorengan.
            Maya memperhatikan tingkahnya.
            “Ih, makanan apaan nih? Mau ngeracunin ya?” Masayu memuntahkan gorengan itu dan membuang sisanya tepat di depan Maya. Dan dia beserta geng yang menguntitnya meninggalkan kantin tanpa rasa bersalah.
            Maya bertambah kesal. Ibu yang tahu kejadian itu mendekatinya. Ibu mengelus-elus pelan bahu anak semata wayangnya.
        ‘Mencelupkan adonannya dari pinggir jangan dari tengah. Seperti ini.’ Ibu mencontohkan.
            ‘Ah apaan sih Ibu nggoreng kaya gini itu sama aja kali mau dari pinggir dari tengah entar juga jadi,’ ujar Maya seraya mencelupkan adonan dengan hentakan. Minyak panas di penggorengan muncrat dan mengenai muka Maya. Refleks dia menutupi mukanya dan berteriak kesakitan. Ibu berteriak meminta tolong. Maya segera dibawa di rumah sakit.
            Sesampainya di rumah sakit dan diperiksa, dokter memberitahu Ibu kalau mata Maya menadi buta akibat cipratan minyak panas itu. Ibu membekap mulutnya seketika. Buliran air mata menggenang di pelupuk matanya. Maya yang mendengarnya menjerit histeris. Tak tega melihat anaknya sedih, Ibu memutuskan untuk melakukan pengorbanan untuk Maya.
****
            Operasi pun dilakukan dengan sukses. Suster bersiap membuka lapis demi lapis perban yang membalut mata Maya. Maya mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia melirik ke kanan dan kiri. Kini dia bisa melihat lagi.
            “Siapa yang telah mendonorkan kornea mata untuk saya, Dokter?” tanya Maya.
            “Temuilah dia di depan dan jangan lupa pakai gaun ini saat menemuinya.”
          Dokter meletakkan gaun merah cantik ke pangkuan Maya. Gaun itu sebelumnya pernah dilihatnya di etalase sebuah toko. Gaun merah itu tergantung apik di sebuah maniken. Maya meminta ibunya untuk membelikannya tapi ibu menolak karena tidak punya uang. Gara-gara itu Maya marah dan tidak mau makan seharian. Maya meraih gaun itu dan memakainya. Dia mengendap keluar ruang pasien. Dilihatnya seorang wanita yang duduk di ruang tunggu. Terlihat mukanya yang penyabar meskipun memakai kacamata hitam. Disampingnya tergeletak tongkat kayu yang menuntun arah jalannya. Maya langsung menghambur ke pelukan ibunya. Dia menangis tersedu.
           ‘Maafin Maya, Bu. Ibu sudah memberikan segalanya untuk Maya tapi Maya malah selalu membuat hati Ibu sakit hati.’
            Ibu ikut menangis terharu. Dia mengelus punggung anaknya dengan lembut.
            ‘Ibu, bagaimana Maya bisa membalas semua kebaikan Ibu? Pengorbanan Ibu.’
           ‘Ibu enggak minta apapun, Sayang. Ibu hanya ingin Maya bahagia. Maya bisa menjadi orang sukses biarpun Ibunya bisu tuli dan sekarang buta.’
            ‘Maya pasti akan sukses, Bu. Ibu pasti akan bahagia dan bangga. Maya janji. Maya janji.’
            Pelukan dan ibu tangisan bahagia itu menjadi awal semangat belajar Maya. Dia bisa menggeser Masayu dari posisi juara kelasnya.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Kasih Sayang Ibu

Nilai kehidupan hari ini, dikisahkan seorang wanita karir yang masih lajang bernama Gina. Gina hanya tinggal dengan ibunya dan seorang pembantu yang merawat ibunya yang sudah renta.
“Prang.” Ibu Gina memungut panci yang baru saja tak sengaja dijatuhkannya.
Gina yang baru pulang dari kerja masuk ke rumah dengan raut marah, “Ibu ngapain sih?”
“Ibu mau masak buat kamu, Nak,” jawabnya.
“Ngapain sih pake masak segala. Ini malah bikin berantakan semua. Ngrepotin aja. Udah sana ibu ke kamar aja.”
Si ibu menurut.
“Bibi, buruan kesini,” teriak Gina sembari berkacak pinggang.
Si bibi menghampiri dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa nyah?”
“Ini rapiin semua ulah ibu,” perintah Gina.
****
“Iya Pak, selamat malam.” Gina menjawab telepon dari atasannya.
“Pekerjaan yang saya berikan tadi sudah kamu kerjakan?” tanya suara di seberang.
“Iya Pak, ini sedang saya kerjakan.”
“Malam ini harus sudah kamu selesaikan ya.”
“Baik Pak.”
Gina menutup telepon lantas terburu-buru membuka lembar pekerjaannya sambil menyalakan laptop. Jari-jarinya mulai mengetik dengan tergesa-gesa. Selang beberapa menit kemudian, Ibu masuk ke kamarnya.
“Gina,” panggilnya. Ibu terbatuk-batuk, tangannya terus saja mengelus-elus dadanya.
“Apa sih, Bu.”
“Ibu minta dikerokin.”
“Apa Bu? Apa enggak bisa liat ini aku lagi sibuk!” tolak Gina dengan nada meninggi.
“Tapi ibu enggak enak badan, Nak. Cuma sebentar.”
Gina tetap berkutat pada pekerjaannya.
“Nak?” panggil ibu lagi. Tiba-tiba Ibu batuk-batuk keras lalu muntah. Muntahannya mengotori map-map yang tertata di meja kerja Gina.
“Ih Ibu ini pake muntah segala. Haduh bagaimana ini pekerjaanku jadi kotor semua. Bibi!” Gina memungut map-mapnya lalu membersihkannya. Bibi berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara.
“Ini bawa Ibu keluar dari kamarku. Kerokin juga ya.”
Bibi mengangguk lantas mengajak Ibu ke kamar. Gina mengunci kamarnya agar Ibu tidak mendatangi kamarnya lagi.
****
Sore itu Gina duduk di teras sendiri. Tangannya meraih handphone lalu memencet beberapa digit nomor sehingga terhubung dengan kekasihnya.
“Beb, pokoknya minggu ini kamu harus melamarku. Aku pengen nikah secepatnya. Aku sudah enggak betah tinggal sama ibu.”
Suara seberang menjawab, “Iya sayang, nunggu waktu ya soalnya aku lagi sibuk.”
“Aku juga lagi sibuk sama kerjaanku dan ditambah lagi ngurusin Ibu. Pokoknya aku mau kamu nikahin aku minggu ini.” Gina menutup obrolannya karena terganggu dengan suara tangis bayi di teras rumah seberang.
Gina mengamati seorang ibu yang sedang menggendong bayinya itu dengan kesal.
“Cup cup sayang. Pipis ya. Coba Ibu periksa.” Si Ibu diseberang meraba popok bayinya. Terasa basah. Lantas dia menggantinya dengan yang baru tapi si bayi masih tetap menangis. Si ibu menggendong bayinya kembali. Mengelus lembut kepala bayinya sembari menenangkan dengan suaranya yang penuh kasih.
Raut kesal Gina berganti beberapa detik dengan tatapan tertegun. Dia teringat saat ibunya selalu sabar membersihkan ingusnya, mencebokinya, menyuapinya meskipun dia selalu saja menolak makanan yang akan disuapkan padanya, dan masih banyak lagi kenangan-kenangan yang mengisyaratkan kasih sayang ibunya. Dia segera berlari menghampiri ibunya. Mengambil baskom berisi air hangat lalu membasuh kaki ibunya. Ibu memeluk Gina lembut.
“Maafkan aku, Ibu,” ucapnya dengan tetesan air mata penyesalan.

 Dan meskipun seluruh dunia kau berikan, tak akan pernah bisa membalas kasih sayang ibumu.

Pemberian Tanpa Syarat



                Kisah nilai kehidupan kali ini tentang pemuda yang akan mengikuti sholat led. Langkahnya terburu-buru karena sholat led di masjid dekat rumahnya akan berlangsung sekitar lima menit lagi. Di perjalanan, dia bertemu dengan seorang anak laki-laki berambut keriting dan kulit gelap tapi muka ramah selalu dia tampakkan.
“Om om,” panggilnya seraya mengikuti arah jalannya si pemuda.
“Ada apa, Dek?” Langkahnya terhenti.
“Ini om, korannya.” Tangan kanan si anak menyodorkan satu bendel koran, sedangkan tangan yang lain mendekap bendel-bendel koran.
Pemuda menatap aneh pada kalung berlambang salip yang dikenakan si anak. Pasti anak ini ingin menghambatnya pergi ke masjid, begitu pikirnya.
“Maaf Dek, saya sedang buru-buru,” jawabnya cepat. Langkahnya dipercepat  lagi tap si keriting mempercepat langkahnya pula.
“Ini Om, korannya bawa aja.”
“Enggak Dek. Saya mau sholat led. Udah mau telat ini.”
“Iya makanya itu Om, bawa aja.”
“Enggak Dek. Udah ya.” Pemuda berlari agar tidak diikuti lagi. Untungnya sholat belum dimulai, tapi kini dia bingung karena tempat yang tersisa hanya halaman rumput sedangkan dia lupa tidak membawa sajadah.
Di tengah kebingungannya, si keriting datang lagi. Masih memamerkan senyumnya, dia menyodorkan koran.
“Ini Om, pakai aja ini buat alas,” ujarnya.
Si pemuda mengangsurkan uang ribuan tapi si keriting menolak.
“Sudah Om enggak usah. Selamat menjalankan sholat led ya Om,” ucapnya lalu pergi setelah bersalaman dengan si pemuda yang meminta maaf.

“Saling memaafkan tanpa dendam, saling memberi tanpa isyarat. Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”