Sabtu, 31 Desember 2011

Sekelumit Celoteh dan Harapan Hari-hari Menjelang UAS



Aku bahagia dengan hari-hariku sebagai mahasiswa dengan setumpuk laporan, anak kost yang berkurang napsu makannya kalau lagi duit mepet dan tidak bisa pulang, serta ilmu-ilmu yang menurutku semakin bertambah seru. Setiap kali aku bangun tidur. Aku selalu berusaha mengumpulkan seluruh semangatku yang masih berjalan mengendap-endap di seluruh jaringan bawah sadar. Dan senyum lebar-lebar untuk mengumpulkan pikiran positif agar tidak selalu berprasangka buruk dengan orang lain.
Aku punya segudang mimpi yang aku yakin pasti tidak hanya keluar dengan asap tipis mengepul kosong melompong tapi akan menjadi pembuktian dari keberhasilanku mengejarnya. Mimpilah yang membuatku bersemangat bangun pagi dan bersemangat pula untuk kuliah (tapi sering telat lalu tidak berani masuk). Well, setidaknya aku selalu berusaha paham dan mencari-cari pertanyaan yang bisa tanyakan ke dosen saat kuliah. Cara ini cukup manjur untuk membunuh kebosanan apabila dosen hanya monoton menerangkan bahan yang dikemasnya dalam bentuk power point atau istilah bekennya ppt.
            UAS. Hard study dan itu juga cukup membuatku senang karena saat-saat itu membuatku dipaksa untuk sangat dan sangatlah paham dengan materi kuliah. Aku jadi lebih tahu dari sebelumnya. Dan aku senang bisa mengetahui banyak hal. Tapi, sempat terpikir untuk berbuat curang juga saat aku merasa otakku sedang bebal. Then, ting tiring ting. . .hal ini bisa disiasati dengan mengarang bebas saja saat mendapatkan soal yang dirasa sulit. Entah itu nyambung atau tidak, biasanya aku akan terus menulis apa saja yang aku tahu sampai pengawas menyuruh mengumpulkan lembar jawaban.
            Lanjut setelah UAS, ehm I mean dua minggu kemudian ada hari-hari yang sangat aku benci. Bukan. Bukan karena aku benci liburan terus tidak bisa ketemu si cool (innocent boy yang aku anggap selalu cool dengan pakaian model apapun), tapi karena aku benci yudisium. Aku benci saat-saat nilaiku yang keluar melenceng jauh dari perkiraanku. Mungkin ini salahku selalu sangat percaya diri bisa mendapatkan hasil yang sangat maksimal setelah keluar dari ruang ujian. Bukankah itu bagus? Selalu berpikiran positif meskipun perkiraan lain menyangkal. Hmm, entahlah. The best thing that I have todo now is being the best in this semester. I know that Allah will help me, give me a  lot of  His love to give me the best. Amin.

Kamis, 03 November 2011

Recovery My Mangrove


Beratus-ratus jejak kaki terpahat, menandakan pantai ini dihuni oleh sekumpulan manusia. Hembusan angin menghapus pahatan jejak kaki, namun buliran pasir akan terpahat oleh jejak lagi dengan lalu lalang penduduk sekitar. Jejak kaki berujung pada hamparan lautan membiru yang luasnya tak dapat dijangkau oleh mata. Lengkungannya memutus pandangan seakan laut luas tanpa batas. Kawanan burung camar yang mengepakkan sayapnya mengitari laut menjadi indikator gerombolan ikan yang menghuni birunya laut. Kawanan itu satu per satu terjun menyelam ke laut lantas dengan sigap naik lagi ke langit dengan ikan segar yang terjepit diantara dua katup paruhnya. Seakan tak mau kalah dengan burung, nelayan melepas tali perahu bersiap untuk berlayar. Perahu kayu sederhana yang hanya menampung beberapa kilogram ikan saja, namun memang sebatas itu saja yang mereka tangkap agar ikan tak habis hanya karena keserakahan.
Langkah-langkah segerombolan bocah kecil berusia dua belasan tahun meramaikan suasana pantai. Banyu, bocah kurus jangkung yang jahil. Dia gemar sekali menaruh cacing tanah di tangan Sekar. Seketika Sekar akan menjerit-jerit berusaha menyingkirkan binatang lunak yang menggeliat itu dengan daun bakau. Sekar satu-satunya perempuan dalam gerombolan ini. Perawakannya kecil tak seperti Banyu. Rambut hitam kemerah-merahannya selalu dikepang dua dengan tali karet sebagai pengikat. Rambut merahnya bukan karena pewarna rambut yang sedang trend saat ini. Pada jaman semasa Sekar kecil belum ada orang yang mengenal pewarna rambut. Rambut merahnya karena paparan sinar matahari yang memudarkan warna asli rambutnya setiap hari. Anggota lain dari gerombolan kecil itu adalah Langit. Langit lebih gemuk  dan berambut keriting. Namun di balik keriting itu, tersimpan otak cerdas yang membuatnya selalu ingin tahu dengan apapun. Jadi tak mengherankan apabila Langit mengetahui banyak hal.
Tak jauh dari pantai yang biasa dipakai untuk menyandarkan perahu-perahu nelayan, terdapat hutan mangrove yang lebat nan hijau. Akar-akar mangrove mencuat dari batang layaknya kaki. Akar-akar yang terbenam ini mencegah abrasi apabila sewaktu-waktu ombak laut menderu dengan galaknya karena hembusan angin yang dasyat. Hutan mangrove juga memberi kesejukan dari teriknya matahari pantai sehingga dapat pula menciptakan iklim mikro yang baik. Hutan mangrove menjadi lahan untuk mencari makan selain laut. Penduduk di sekitar hutan biasanya memanfaatkan dahan kayunya untuk dijadikan kayu bakar, tetapi mereka hanya mengambil seperlunya untuk kepentingan sendiri sehingga mangrove tetap tumbuh lebat menghijau. Hutan mangrove yang masih alami ini hidup berbagai biota seperti ikan glodok, udang, kepiting, serta ular.
Di hutan mangrove inilah Banyu, Sekar, dan Langit menghabiskan sisa harinya selepas pulang Sekolah Rakyat. Mereka membenamkan kaki-kaki telanjangnya ke lumpur di kawasan payau ini untuk mencari kepiting bakau lantas membakarnya dengan kayu bakau sebagai tungku. Rasanya yang manis membuat mereka tak menghiraukan badan kotor bersimbah lumpur. Lumpur-lumpur itu malah menjadi media bermain yang mengasyikkan bagi mereka. Lima perangkap yang mereka pasang kali ini hanya menjerat dua kepiting bakau. Setelah mereka mengambil hasil tangkapannya, tak lupa memangkas dahan bakau untuk dijadikan kayu bakar.
“Hei Banyu, jangan kamu tebang semua dahan-dahan itu.” Langit menegur setelah melihat keusilan Banyu.
“Emang kenapa?” tanyanya masih memangkas dahan-dahan dengan gaya bak pendekar pedang.
“Nanti bisa gundul.Kamu mau hutan ini jadi gundul?”
“Ah apa urusanku? Lagipula mana mungkin bisa gundul hanya gara-gara dahannya aku pangkasi.”
“Coba lihat laut disana. Kalau tidak ada bakau lagi, tidak ada lagi yang bisa menahan ombak dari laut. Terus kalau itu terjadi, rumah-rumah kita bisa rusak karena ombak-ombak itu. Habis rumah kita, mau tinggal dimana coba?”
Sekar bergidik ngeri. Dia langsung mengiyakan nasehat Langit.
“Sudahlah Banyu ayo ke pantai saja. Kita bakar kepiting-kepiting ini.”
Banyu menghentikan ulahnya lantas mengikuti Langit dan Sekar berjalan menuju pesisir.
***
Genap enam tahun Banyu, Sekar, dan Langit menimba ilmu di sekolah Rakyat yang dibangun di kawasan pesisir. Tibalah saatnya mereka untuk mengucapkan selamat tinggal dengan penuh rasa terimakasih kepada guru-guru mereka yang ikhlas bekerja dengan gaji sangat minim. Mereka beruntung pemerintah berbaik hati membangun sekolah di kawasan ini, meskipun sangat sederhana berdindingkan bambu dan hanya mempunyai dua guru. Sekolah berbambu ini hanya memiliki dua ruang sebagai kelas, tanpa kamar kecil ataupun perpustakaan seperti sekolah-sekolah pada era ini. Buku-buku tua yang lapuk dimakan jaman tersimpan rapi di dalam lemari kaca laiknya barang yang berharga. Murid-murid sangat gembira saat Bu Yan mengijinkan mereka membaca buku-buku yang banyak bercerita tentang laut dan pesisir itu, tak terkecuali Langit.
Seperti halnya anak lain seusai tamat Sekolah Rakyat, Banyu, Sekar, dan Langit bekerja untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Impian besar mereka seperti dihantam batu besar sehingga tak akan dapat terwujud. Banyu yang ingin menjadi pendekar. Sekar, si penakut yang ingin menjadi dokter. Dan Langit yang ingin menjadi profesor. Frekuensi bermain mereka pun ikut tergerus menjadi kesibukan mencari uang. Banyu dan Langit membantu ayah mereka berlayar, sedangkan Sekar membantu ibunya membuat ikan asin.
***
“Kedatanganku kemari untuk mengajak Sekar ke kota, Sur. Nanti aku sekolahkan hingga jadi dokter seperti cita-citanya.” Wati, adik dari ayah Sekar mengutarakan maksud kedatangannya.
“Kalau aku ya menurut saja sama Sekar. Sebentar aku panggil dulu.”
Suryo ke samping rumah, tempat biasa istri dan anaknya itu menjemur ikan asin.
“Ada Bu likmu itu. Sana buatkan minum.”
Sekar mengangguk lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan minum. Dua cangkir teh manis hangat diletakkannya pada penampan. Setelah disuguhkan di meja tamu, Sekar mencium tangan bu liknya.
“Sekar, mau tidak ikut Bu Lik ke kota? Biar bisa sekolah lagi. Katanya mau jadi dokter.”
“Mau Bu Lik. Tentu saja Sekar mau. Kapan berangkatnya? Sekarang?”  serunya dengan gembira.
Suryo dan Wati yang melihatnya hanya tertawa menanggapi rentetan pertanyaan Sekar.
Wati menginap semalam hari itu untuk melepas lelah. Esoknya dia akan membawa keponakan kesayangannya itu tinggal di kota untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Wati tamatan Sekolah Rakyat juga seperti penduduk lain di peisisir ini tapi nasib baik membawanya ke kota. Beruntung kecantikan Wati yang polos menarik perhatian dokter dari kota besar yang sedang singgah untuk mengabdi di pesisir kala itu. Seusai tugas dokter itu selesai, dia turut serta membawa Wati ke kota, menyenyakkan kehidupan Wati yang biasanya serba kekurangan.
***

Lima belas tahun kemudian,
Sepatu pantovel hitam dengan hak tiga centimeter menapak di jalan beraspal. Tak lama kemudian sosok bersahajanya keluar dari mobil putih mengkilap karena tertimpa sinar mentari. Perempuan muda itu mengenakan celana pantalon dan kemeja serta kacamata hitam untuk meredam terik matahari. Penduduk berbondong keluar dari rumah karena penasaran dengan orang yang datang.
“Pasti orang kota yang mau membabat bakau lagi,” bisik salah seorang pemuda.
“Perempuan, Bang. Masa punya otak kontraktor.”
“Bisa saja. Di kota siapa saja pikirannya duit. Lihat saja itu sinetron yang ada rebutan duit.” Seorang wanita menambahkan.
“Iya bisa saja. Ayo usir saja dia sebelum hutannya makin rusak parah. Ujang, panggil semua warga.”
Saat Ujang hendak berbalik memanggil pemuda desa, suara bernada tak percaya menggagalkan niatnya.
“Sekar?” celetuk Langit dengan nyaring.
Perempuan yang merasa dipanggil menoleh, melepas kacamata hitamnya lantas mencari orang yang memanggil namanya. Dia mendekat ke kerumunan orang, memberikan senyum manisnya yang ramah, dan menyalami mereka satu per satu. Decak kagum pada sosoknya yang sudah nampak sukses membuat mereka tak henti-hentinya bertanya.
“Sekarang katanya sudah jadi dokter ya?”
“Sudah lama tidak pulang. Sudah besar ya sekarang. Pasti sudah sukses juga ya di kota?”
Sekar menjawab pertanyaan mereka satu per satu menghapus rasa penasaran mereka.
“Sekar, aku ingin mengajakmu ke hutan. Aku ingin menunjukkan hutan sekarang tidak seperti dulu lagi.”
Sekar kaget dan langsung saja mau mengekor ke hutan mangrove.
“Orang kota serakah sekali membabat bakau seenaknya saja. Kita sekarang sudah tak punya hutan lagi.”
“Apa untungnya mereka membabat bakau, Lang?”
“Awalnya mereka hanya membabat seperempat bagian hutan untuk dijadikan tambak udang. Tapi sejak ekspor udang besar-besaran, mereka dengan rakus membabat semuanya untuk dijadikan tambak.”
“Tambaknya juga habis?”
Langit mengangguk. Tersenyum sengit karena menguak memori yang sangat dia benci.
“Tambaknya rusak dihantam ombak besar. Dulu aku sering melarang Banyu memangkas dahan bakau karena takut hal ini terjadi. Tapi aku malah tak kuasa melarang ulah-ulah orang kota yang membabat bakau. ”Langit menggeleng kuat-kuat. Terbersit penyesalan yang besar dalam benaknya. “Sekarang tidak ada lagi yang menahan hantaman ombak besar saat sedang pasang. Kami selalu was-was rumah kami akan habis dihantam ombak.”
Sekar bergidik kaget sekali setelah melihat hutan mangrove yang dahulu hijau lebat sekarang menjadi lumpur berpasir yang hanya ditinggali cacing. Tapi lama-kelamaan senyumnya merekah karena mendapat ide.
“Kita tanam saja ribuan bibit bakau disini, Lang. Kita ajak serta warga sini. Mereka pasti ikut mendukung niat kita.”
“Bibitnya?”
“Biar nanti aku yang atur. Sekarang tugasmu membujuk warga sini ikut nanam bakau.”
“Kamu serius?”
Sekar mengangguk meyakinkan.
***
Tibalah hari yang ditunggu Langit. Wajahnya yang sumringah dengan sigap menurunkan bibit-bibit bakau dari mobil dengan bak terbuka. Warga dengan sukacita pula menyambut tiga mobil pengangkut itu. Mereka saling gotong royong menanam ribuan bakau. Harapan besar tersirat dari wajah mereka. Hutan mangrove yang rindang dengan segala biotanya yang hidup alami seperti saat mereka kecil terbayang dalam benak mereka. Tetesan peluh yang menjagung pun tak menyurutkan semangat.
Hingga tahun-tahun berganti meskipun terasa sangat lama, namun kesadaran warga pesisir untuk merawat bakau-bakau yang belum mengakar kuat menjulang tinggi berbuah hasil yang manis. Hutan pelan-pelan pulih seperti sedia kala. Tahun-tahun berikutnya, biota bakau seperti ikan glodok, kepiting, udang,  burung camar, dan ular menyinggahi hutan itu. Warga semakin sadar tentang pentingnya sabuk hijau  untuk memecah gelombang dari angin timur maupun angin barat. Rumah warga terhindar pula dari hantaman gelombang dasyat itu. Selain itu mereka juga dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan memanfaatkan hutan mangrove tapi masih dalam skala kecil untuk meminimalkan kerusakan hutan mangrove yang kedua kalinya.
Akar bak pondasi kokoh yang menahan terpaan gelombang besar ibarat kaki Tuhan yang melindungi warga pesisir. Di dalam kerindangannya dijadikan tempat bernaung binatang bakau yang mungkin akan ikut punah apabila hutan mangrove juga tergerus oleh jaman. Hutan mangrove menyelamatkan pesisir dan dapat pula menjadi produsen oksigen sehingga dapat disimpulkan, hutan mangrove juga dapat mengurangi dampak global warming yang sedang marak saat ini.

Senin, 15 Agustus 2011

Selaksa Binar Bahagia yang Pulang Part II


            Seorang perempuan menepuk pundakku pelan. Aku terkesiap kaget lalu membalikkan tubuh kurusku. Perempuan itu tersenyum, manis sekali meskipun bibirnya sangat pucat. Dia mungkin masih seusia denganku tapi tubuhnya terlihat rapuh namun sorot matanya bersinar penuh semangat.
            ”Sedang apa sendirian disini?” Perempuan itu bertanya seraya  merapikan topi rajut yang menutupi sebagian kepalanya.
            ”Kenalkan, namaku Midi,” ujarnya seraya mengulurkan tangan. Kusambut uluran tangannya dengan senyum kecut. Ah, mengganggu saja sih orang ini, keluhku dalam hati.
            Midi masih tersenyum menunggu jawabanku. Dia tersentak kaget saat aku melepaskan tangannya dengan kasar dan berteriak-teriak marah.
            ”Lo, lo, ngapain elo ndeketin gue. Mau jadi dewa penolong?” teriakku sambil mengacungkan telunjukku ke mukanya yang pucat. ”Pergi saja dari sini! Jangan pernah ganggu urusan gue. Ngerti?” ujarku menambahkan.
            ”Kamu punya masalah? Seberat itukah hingga kamu ingin mengakhiri hidupmu dengan jalan seperti ini?” Midi masih saja tersenyum, dia sama sekali tidak merasa tersinggung.
            ”Oh, ternyata elo sudah mengerti apa yang bakal gue lakuin dan sekarang elo pengen menjadi malaikat penolong?” sindirku.
            Dia hanya tersenyum menanggapi sindiranku. Aku menceritakan semua yang aku alami seraya menangis. Aku berteriak-teriak marah karena dia sudah menggagalkan rencanaku. Midi mengangguk mengerti, sesekali matanya menerawang untuk memahami penderitaanku yang tak kunjung berakhir. Midi merangkul bahuku untuk meredakan tangisku. Setelah aku puas mengeluarkan keluhanku, tak terasa aku merasa sangat lega. Seperti ada sebagian beban yang jatuh.
            Midi menghela napas panjang.
            ”Kalau kamu ingin memusnahkan nyawamu, maka sebaliknya aku ingin sekali menyambung nyawaku.” Midi mulai bersuara lagi. Dia menceritakan kisah hidupnya yang bagaikan sebuah sinetron.
            Midi tak tahu siapa orang tuanya dan dimana mereka tinggal. Midi ditemukan oleh ibu panti di tepi sungai berbatu di bawah sana. Saat ditemukan usianya masih sekitar tiga tahun, masih sangat kecil untuk bisa mengingat kembali asal-usulnya. Tinggallah dia di panti asuhan bersama belasan anak lain.
            ”Meskipun aku tidak tinggal di rumah besar lengkap dengan fasilitas mewah sepertimu, aku tetap merasa beruntung tinggal disana. Beruntung karena memiliki teman dan ibu panti yang sangat baik disana,” ucapnya penuh semangat.
            Tapi tiga tahun lalu Midi dinyatakan positif mengidap kanker otak. Ternyata kabar itu tak terlalu merisaukan hatinya. Seperti halnya penyakit mematikan lain, Midi divonis oleh dokter. Dokter mengatakan kalau lima bulan ke depan dia akan meninggalkan dunia ini, karena itu dia berusaha menggunakan kesempatan hidupnya yang tinggal beberapa bulan lagi.
            ”Kalau bisa, aku ingin sekali memperpanjang masa hidupku karena aku masih ingin mencari orang tuaku lagi.” Midi mengemukakan alasannya. ”Aku hanya ingin melihat wajah mereka meskipun hanya selintas, tapi aku sudah lupa dengan wajah mereka,” ujarnya menambahkan.
            Midi memandangku sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke sekolompok awan yang menggumpal di langit.
            ”Kamu beruntung...” Midi sengaja tak melanjutkan kata-katanya agar aku bersedia menyebutkan namaku.
            ”Loli.”
            ”Ya Loli, kamu beruntung. Ayahmu masih hidup. Bila ayahmu nantinya terbukti tak bersalah seperti perkiraanmu, dia pasti akan kembali padamu. Setidaknya kamu masih memiliki ayah sedangkan aku tak ingat lagi raut wajah ayahku seperti apa.”
            Midi masih tersenyum menatapku. Tak terasa aku mulai kagum dengannya. Di sisi barat, langit sudah bersemu kemerahan karena matahari akan tenggelam. Midi masih melanjutkan kata-katanya yang menghiburku.
            ”Kamu boleh menganggap ayahku, ayahmu. Dia pasti akan senang bisa punya anak gadis kayak kamu.”
            Ups, bicara apa aku. Apa baru saja aku bersedia berbagi kasih sayang ayah dengan Midi? Baru kali ini aku ikhlas membagi yang aku miliki dengan orang lain. Bahkan dengan orang yang baru saja aku kenal. Baru kali ini pula aku peduli dengan orang lain. Tapi tak apalah. Toh, ayahku pasti akan senang kalau sudah mengenal perempuan sebaik Midi.
            ”Oh, jangan bercanda Loli.”
            ”aku nggak bercanda,” seruku meyakinkan. ”Sekarang bicaralah biar aku bisa tambah tenang.”
            ”Kurasa aku sudah seperti orang yang sok jadi malaikat penolong”
            ”Aku udah nggak ngerasa kayak gitu lagi. Ayolah beri untaian kata lagi biar aku bisa tambah semangat,” bujukku.
            ”Ehm, kalau kamu merasa hidupmu seperti mimpi buruk, maka bangunlah. Jangan kelebihan tidur nanti pikiranmu tak muncul-muncul ke kehidupan nyata. Bangunlah Loli! Mulailah hari-hari barumu dengan senyum tulus. Pasti kamu sudah lupa cara tersenyum dengan manis.” Midi meletakkan kedua ujung telunjuknya di ujung bibirku hingga membentuk sebuah senyuman.
            ”Aku bisa sendiri, Midi!” ujarku sambil tertawa.
            Midi ikut tertawa. Tak terasa tawaku berhasil menjatuhkan beban-bebanku yang menggunung. Hari ini aku merasa sangat ringan, seringan bulu burung merpati yang hinggap di ujung pohon. Ringan sekali.

***

            ”Hai Loli!”
            ”Hai!” seruku seraya melambaikan tangan. Midi membalasnya dengan tersenyum manis.
            ”Ayo masuk.”
            Midi mengamit lenganku menuju rumah panti. Rumah ini tak terlalu besar tapi cukup teduh dan asri. Di beberapa sudut halaman ditanami berbagai pohon seperti pohon mangga, pohon jambu, pohon rambutan, dan masih banyak lagi. Bunga-bunga seruni yang berbunga putih bersih memperindah teras rumah yang sempit.
            Sesaat aku baru saja memasuki pintu kayu bercat biru, anak-anak panti yang sedang menikmati akhir pekan menyambutku dengan senang. Mereka bergantian memperkenalkan diri seraya menjabat tanganku penuh semangat. Mereka begitu terlihat bahagia. Tertawa riang seraya mengerubungi ibu Ratih yang membawa seloyang roti pandan yang harum seperti kawanan semut yang menemukan gula. Tak ada yang menangisi nasibnya meskipun mereka tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua kandung. Dulu yang ada dalam pikiranku, panti asuhan penuh dengan anak malang yang terus saja menangisi nasibnya yang tak beruntung. Meskipun begitu, mereka memiliki ibu Ratih sebagai pengganti ibu mereka. Dan tampaknya wanita ini sangat tulus sekali menyayangi anak asuhnya yang bahkan tak memiliki hubungan darah dengannya.
            ”Eh jangan rebutan begitu.” Ibu Ratih mengangkat roti yang baru saja dia letakkan di meja tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Tangan kirinya dia gunakan untuk mengatur anak-anak itu membentuk barisan panjang.
            ”Bagus. Sekarang ambil satu-satu jangan ada yang menyerobot,” ucapnya memperingatkan.
            ”Sip..!” Barisan itu bersuara berbarengan seperti regu kor.
            Belum ada lima menit, mereka sudah meghabiskan jatah roti mereka. Tapi meskipun  kelihatannya mereka masih belum puas, anak-anak manis itu tak lupa menyisakan dua potong roti untuk aku dan Midi.
            ”Terimakasih,” ucapku dengan Midi berbarengan.

***

Tak terasa sudah hampir lima bulan aku memiliki sahabat sebaik Midi. Dan selama itu kekagumanku semakin bertambah. Aku sudah hanyut dengan rutinitas baruku dengannya. Setiap tiga kali dalam seminggu, aku menemaninya check up ke rumah sakit. Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku yang tersisa dengan membantu anak panti mengerjakan PR atau membuat roti dengan ibu Ratih, Midi, dan anak panti lainnya yang sepertinya lebih ahli dalam soal ini daripada aku. Aku merenungi hikmah dari semua peristiwa yang menimpaku.
 Terdengar derap langkah menuju kamarku, lalu tak beberapa lama kemudian suara derap langkah digantikan dengan suara pintu diketuk pelan.
”Mbak Loli, ada telepon dari kepolisian.” Bik Inah menyingkap tirai kamarku seraya menyerahkan gagang telepon padaku. Aku menautkan alisku bingung. Tampaknya aku tak melanggar undang-undang, lagipula ini sudah malam. Aku mereka-reka apa yang akan disampaikan polisi ini padaku. Dengan bergetar penuh kecemasan aku mengucapkan salam, lalu selang beberapa detik terdengar suara berat di seberang sana. Seperti biasa para polisi tak pernah berbelit-belit dalam menyampaikan sesuatu, jadi tak berapa lama kemudian laki-laki di seberang sudah mengucapkan salam untuk mengakhiri pembicaraan kami.
”Terimakasih, Pak. Selamat malam,” ucapku tersenyum lega seraya meletakkan gagang telepon. Senyum bahagia tak pernah lepas dari bibirku sejak aku mendengar berita itu. Berita yang membuat binar-binar kebahagiaan akan kembali padaku.
 Setelah melalui persidangan beberapa kali akhirnya ayah terbukti tak bersalah. Ternyata ada salah satu relasinya yang ingin mencelakainya. Tapi aku sudah memantapkan diriku untuk tidak membenci orang yang menjebak ayah. Karena bila semua ini tak terjadi mungkin aku masih menjadi Loli yang dulu, Loli yang sempurna tapi memiliki hati yang jauh sekali dari sempurna.
            Hatiku sangat gembira sampai hatiku seperti ingin meloncat keluar saking girangnya. Dengan kecepatan maksimum aku mengemudikan mobil tuaku menyusup melalui jalan raya yang disinari lampu-lampu hias di kanan kiri jalan. Beberapa kali mobilku harus menyelinap diantara beberapa truk, mobil lain, maupun motor-motor yang masih saja memenuhi jalan padahal angka digital pada jam tanganku sudah menunjukkan angka dua puluh dua. Setelah beberapa menit melewati jalan yang masih basah karena sisa air hujan dua jam lalu, aku mermarkir mobilku di depan kantor polisi di samping mobil biru putih yang terhias lampu sirine di atasnya. Aku berlari secepat aku bisa karena tak sabar ingin melihat wajah ayah yang sudah sangat aku rindukan. Terbayang rencana-rencana indah yang akan aku lewatkan bersama ayah mulai esok pagi.
            ”Selamat malam, Pak! Dimana ayah saya?” Sesampainya di depan salah satu meja polisi aku langsung menyerbunya dengan pertanyaan dasar. Aku sudah tidak sabar ingin melihat raut teduh ayahku.
            Laki-laki berwajah tegas di depanku itu tersenyum seraya menunjukkan tangan ke arah laki-laki paruh baya yang kurus dengan gurat wajah yang tersenyum bahagia. Aku berlari mengahampiri dan memeluknya. Bulir-bulir air mata bahagia mengalir dari ujung mataku. Ini pertama kalinya aku menangis lagi sejak aku memantapkan diriku untuk tidak menangis sejak aku bertemu Midi. Tapi sekarang keadaannya sudah berbalik, aku menangis karena bahagia.. Salah satu yang membuatku ingin sekali melompat ke langit untuk berterimakasih pada Tuhan adalah saat aku tersadar kalau akan memiliki ayah lagi. Meskipun Mamaku tak akan kembali, setidaknya aku masih bisa merasakan kasih sayang orang tua.

***

            Mentari sudah menghangatkan bumi lagi, berkas sinarnya menembus jendela kaca yang ada di samping kamarku. Aku menggeliat karena malas bangun tapi setelah aku ingat akan kehidupan baruku, aku meloncat dari kasurku dan berlari ke bawah untuk mencari ayah. Di hari yang cerah itu aku melewatkan hariku dengan berlibur bersama ayah. Pada hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya aku tak pernah bosan menghabiskan hari liburku yang hampir habis bersama ayah seolah-olah aku sudah terpisah selama berabad-abad dengannya. Aku berharap kehidupan yang baru aku mulai ini tak akan berakhir dengan kesedihan lagi.
           
***

            Aku mengangkat ponselku yang bergetar.
            ”Halo! Selamat sore.”
            ”Selamat sore, ini saya ibu Ratih.”
            Mendengar suara di seberang menyebutkan namanya aku mulai rindu dengan suara lembut itu. Aku tersadar kalau aku sudah cukup lama tak mengunjungi rumah panti seolah-olah aku sudah lupa karena terhanyut dalam dunia baruku.
            ”Oh, saya senang sekali ibu menelepon. Saya sudah sangat kangen dengan ibu,” ujarku mengeluarkan semua yang sedang aku rasakan.
            ”Ibu juga. Kemana saja kamu akhir-akhir ini sampai tak sempat mengunjungi kami? Ibu dengar ayah kamu sudah bebas. Ya, saya maklumlah dengan keadaanmu saat ini.”
            ”Terimakasih, Midi dimana? Apa dia di belakang ibu? Saya ingin sekali berbicara dengannya.”
            ”Itulah tujuan saya menelepon. Aduh, saya kok jadi lupa begini ya? Sekarang Midi di rawat di rumah sakit yang biasanya. Ibu harap kamu mau menemaninya di saat....”
Ibu Ratih tersedu. Aku mendengar suara pelan tangisnya. ”Mungkin hidupnya sudah tak lama lagi,” ucapnya melanjutkan dengan suara gemetar.
            ”Saya akan segera kesana.”
            Terdengar suara gagang telepon ditutup. Aku melakukan hal yang sama lalu beranjak dari dudukku. Saat aku akan mengambil kunci mobil, aku teringat dengan janjiku pada Midi saat di atas jembatan. ’Kamu boleh menganggap ayahku, ayahmu. Dia pasti akan senang bisa punya anak gadis kayak kamu.’ Kata-kata yang mengandung janji itu terngiang di ingatanku. Sekarang aku harus menepati janjiku. Kau akan memiliki ayah Midi, meskipun bukan ayah kandungmu tapi kuharap kau senang karena bisa memiliki ayah lagi. Aku menekan beberapa digit nomor lalu setelah tersambung, aku menyampaikan janjiku pada ayah dan memintanya untuk menemuiku di rumah sakit. Ayahku setuju meskipun pekerjaannya masih menumpuk.

***

            Aku berlari melewati lorong-lorong yang berbau obat. Dinding putih dan putih terlihat di kanan kiri jalan yang aku lewati. Aku terus berlari seolah-olah tak ingin melewatkan sisa detik, menit, jam, dan bahkan mungkin hari bila Tuhan mengijinkan untuk bersama Midi. Ibu Ratih berdiri dengan raut muka yang tak pernah aku lihat sebelumnya di depan ruang UGD. Wajahnya begitu layu dan di sudut matanya terlihat air mata yang sudah mengering. Apakah waktunya sudah tiba? Apakah aku sudah terlambat? Aku mohon aku ingin melihatnya lagi. Jangan ambil nyawanya dulu, Tuhan. Saat aku sudah sampai di depan Ibu Ratih, ayahku sudah berdiri di belakangku. Aku tak boleh membuang waktu lagi. Aku cepat-cepat masuk ke ruangan serba putih diiringi dengan ayah di belakangku.
            ”Loli...! Benarkah itu kau?” Midi bertanya dengan sangat pelan seraya tersenyum.
            Aku hanya mengangguk karena tak sanggup berkata-kata sejak melihat kondisinya yang terlihat sangat lemah. Dia terbaring di kasur putih dengan selimut yang senada. Wajahnya sepucat selimut yang menyelubunginya.  Selang-selang kecil menempel di pergelangan tangan Midi yang kurus. Hal yang membuatku semakin bergidik adalah suara  monitor yang terus saja berdetak seiring detak jantungnya. Layar monitor yang menampilkan garis-garis tak beraturan seperti rumput teki. Aku harap tetap begitu karena aku tak tega melihat monitor itu menampilkan garis lurus dengan diringi bunyi tut panjang.
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum, aku tak sanggup berbicara sejak aku memasuki ruangan ini. Aku terpaku sedih melihatnya berbaring lemas tak berdaya.
            ”Aku tak mau melihatmu menangisi keadaanku.”
            Aku terburu-buru mengusap bulir-bulir air mata yang menetes melalui mataku. Kupaksakan untuk tersenyum meskipun saat ini sangat sulit sekali untuk tersenyum.
            ”Tolong berjanjilah padaku!”
            Aku meraih jemarinya yang semakin kurus.
            ”Berjanjilah untuk tidak menangis bila aku pergi.”
            Aku mengangguk meskipun akan sangat sulit untuk melakukannya. Ayah menepuk pundakku untuk membuatku tegar. Tepukannya mengingatkanku dengan tujuannya datang kemari.
            ”Midi, ini ayahku.”
            Aku mulai sanggup bicara karena aku sudah tak sabar menepati janjiku.
            ”Aku pernah janji sama kamu, kalo ayahku juga ayahmu. kamu mau kan jadi saudaraku?”
            Midi tersenyum seraya mengangguk seolah-olah akan mengatakan kalau dia sangat setuju dengan tawaranku. Tapi dia hanya bisa mengungkapkan kegembiraannya dengan tersenyum. Ayah mengelus tempurung kepala Midi yang tertutup topi rajut.
Matahari hampir tertelan oleh bumi, angin semilir menyibak kain gorden, menyusup melalui jendela kaca dan membawa oksigen yang terakhir untuk sahabat yang sangat aku cintai, Midi.