Sabtu, 02 Februari 2013

Sapi Temanku Beranak di Bus


Matahari siang begitu terik, aku berjalan menuju kampus temanku, Liana. Baru kali ini aku menginjakkan kaki di kampus yang terletak di jantung kota ini. Cat serba biru tua mengcover sebagian besar dinding. Aku menekuri tangga yang menghubungkan antar lantai. Setiapkali aku bertemu orang, aku tanyakan apa melihat Liana. Mereka menggeleng. Aku ingin membuat surprise untuknya. Dia pernah bilang, kalau sempat jangan lupa mampir ke tempatnya. Kali ini aku ingin membuat kejutan untuknya. Wah, pasti dia akan senang sekali. Aku membayangkan ekspresi gembiranya.
Aku sudah memutari beberapa gedung, tapi tak ada yang tahu dia kemana. Ponsel. Aku merogoh saku celana jeans, aku tekan beberapa digit untuk mengetikkan pesan, tapi belum sempat aku kirim handphoneku sudah mati. Aku mendengus kesal. Baterai ponselku memang sudah aus. Selanjutnya aku memikirkan cara lagi untuk bertemu dengannya. Sembari berjalan memutari taman kampus, aku mencari ide. Seorang perempuan berjilbab yang sepertinya aku kenal berjalan mendekatiku. Dia tersenyum dan menanyakan kabar. Langsung kutanya dimana temanku itu, dan dia jawab temanku sudah pulang ke rumah sejak kemarin. Baiklah, aku akan ke rumahnya. Belum sampai selangkah, dia mengamit lenganku. Dia minta tolong untuk membawakan sapi temanku. Kasihan tidak ada yang mengurus katanya. Dahiku berkerut bingung tapi aku tak banyak bertanya. Tali yang mengikat leher sapi, aku tarik laiknya menarik anjing pudel. Si sapi tidak banyak ulah, dia menurut kemanapun aku pergi.
Si sapi membuatku kewalahan saat akan naik bus. Dia sangat berat, aku baru sadar kalau dia sangat jauh berbeda dengan anjing pudel. Kenapa temanku memelihara sapi, apa dia sudah bosan dengan kucing. Yah, akan kutanyakan nanti. Para penumpang tentu saja kaget melihatku membawa serta sapi dewasa masuk ke bus. Si sapi menghalangi jalan saat aku taruh di samping bangku. Lantas aku selipkan di dekat jendela. Hmm, angin masuk melalui jendela, membuatku kantuk seketika. Selang beberapa menit, bunyi klakson berkali-kali membangunkanku. Setelah klakson yang membuatku panik, kini aku panik karena sapi temanku hilang. Aku celingukan, tapi tak ku lihat si putih itu. Aku mengira-ngira, apa si sapi melompat dari jendela. Tapi aku berpikir lagi, mana mungkin muat jendela sekecil ini. Aku mulai takut kena marah temanku. Bagaimana ini, usaha untuk membuatnya terkejut bahagia akan berubah menjadi terkejut sedih. Air mataku mulai membulir, tapi percuma air mataku tak akan bisa berubah menjadi sapi segede itu. Uhh, aku bertambah bingung karena beberapa meter lagi, bis ini akan sampai di pasar tempat aku mencari angkutan kuning jurusan  Korowelang, desa temanku.
“Mooo”, suara sapi sontak membuat para penumpang dan tentunya aku terkejut. Si sapi ternyata menyelip di bangku belakang bus. Aku tarik dia keluar, dan ternyata yang keluar tak hanya si sapi tapi ada pula sapi yang lebih kecil. Apa mugkin dia beranak pinak di belakang itu. Penumpang lain berkomentar riuh rendah membuat gaduh. Diantara suara gaduh itu, ada suara perempuan memanggilku dengan suara kencang, “Laaaa”. Mataku terbelalak. Yah, ternyata hanya mimpi.