Minggu, 10 Juli 2011

Kitosan Pengawet Alternatif Pengganti Formalin

 Penurunan daya minat masyarakat untuk membeli produk-produk yang diawetkan khususnya hasil olahan perikanan meresahkan para pedagang termasuk nelayan akhir-akhir ini. Kasus ini disebabkan merebaknya kasus penggunaan formalin untuk menambah daya tarik dan keawetan dalam jangka yang lebih lama. Selain itu, formalin lebih mudah didapat dan memiliki ekonomis yang rendah sehingga dapat menekan biaya produksi. Akan tetapi dampaknya sangat merugikan masyarakat. Pengonsumsian formalin dalam jangka panjang dapat merusak hepar karena formalin merupakan aldehid yang akan mengendap menjadi toksin dalam tubuh. 

Penekanan dampak-dampak negatif dari pengunaan bahan pengawet yang berbahaya seperti formalin dapat digantikan dengan bahan pengawet alternatif yaitu olahan kulit udang berupa kitosan. Kitosan menrupakan olahan dari limbah kulit udang ataupun jenis crustacean lain seperti rajungan dan kepiting. Kitosan dibuat dengan cara pencucian, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi kitin. Kualitas dan nilai ekonomi kitosan dan kitin ditentukan oleh besarnya derajat deasetilasi, semakin tinggi derajat deasetilasi semakin tinggi kualitas dan harga jualnya. Selain sebagai bahan pengawet, kitosan saat ini telah dimanfaatkan dalam beberapa bidang, misalnya kedokteran, kesehatan, tekstil, industri farmasi, pangan, pengolahan limbah, dan kosmetik. Kitosan dapat menjadi alternatif yang efektif karena kulit udang yan merupakan bahan pembuatan kitosan mudah didapatkan di tanah air. Indonesia mempunyai kekayaan laut yang berpotensi besar tetapi belum dimanfaatkan secara optimal, salah satunya kulit udang. Menurut Anonim (2006), hasil survei Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menunjukkan bahwa untuk daerah Jabotabek dapat tersedia sekitar 100 ton kulit udang kering setiap bulannya atau setara 1 ton kitin. Apabila ini dikonversikan ke dalam nilai uang, maka akan diperoleh devisa sebesar US$ 65 ribu per bulan atau US$ 780 per tahun. 

Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar mengingat Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih luas daripada daratan. Potensi-potensi tersebut sayangnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu potensi yang belum maksimal digali itu adalah kelompok family penaeid. Menurut Prasetiyo (2006), Indonesia merupakan salah satu negara pemasok udang terbesar di dunia. Dari data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa areal tambak udang nasional pada tahun 2003 seluas 478.847 ha dengan volume produksi 191.723 ton atau 400 kg per hektar. Untuk tahun 2004 di targetkan pada areal 328.475 ha dengan produksi 226.553 ton atau 690 kg per hektar. Tahun 2005 pada areal 397.475 ha dengan produksi 251.599 ton atau hanya 660 kg per hektar. Tahun 2006 seluas 480.850 ha dan 281.901 ton, hingga tahun 2009 ditargetkan luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi sebanyak 416.616 ton.

Kitosan merupakan turunan deasetilasi dari kitin, sedangkan kitin adalah polisakarida struktural ekstaselular yang ditemukan dalam jumlah besar pada kutikula arthropoda. Polisakaridanya merupakan rantai tak bercabang dari polimer asetilglukosamin dan terdiri dari ribuan unit. Secara kimiawi khitosan hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3CO-. Perolehan kitin dari cangkang udang menggunakan proses demineralisasi dan deproteinasi, yaitu penghilangan protein dan kandungan mineral dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi kitin, yaitu memanaskan dalam larutan basa. Bentuk akhir kitosan bisa berbentuk serbuk atau serpihan. Karakteristik  fisika-kimia kitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat. 

Tahap pengolahan cangkang udang menjadi kitosan diawali dengan pencucian limbah cangkang udang dengan air mengalir kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering. Cangkang udang dicuci dalam air panas dua kali lalu direbus selama 10 menit, ditiriskan, dan dikeringkan. Bahan yang sudah kering digiling sampai menjadi serbuk, kemudian dicampur HCL 1 N dengan perbandingan 1:10. Aduk serbuk dan HCl dengan merata sekitar 1 jam. Dibiarkan sebentar, kemudian dipanaskan pada suhu 900 oC selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai PH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 800 oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering.  Limbah udang yang telah dimineralisasi dicampur dengan larutan NaOH 3.5 %  dengan perbandingan 1:6 antara cangkang udang dan pelarut. Diaduk sampai merata sekitar 1 jam. Selanjutnya dibiarkan sebentar, lalu dipanaskan pada suhu 900 oC selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai PH netral dan dikeringkan pada suhu 800 oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Kitosan dibuat dengan menambahkan NaOH 50 % dengan perbandingan 1:20 untuk kitin dibanding pelarut. Diaduk sampai merata selama 1 jam dan dibiarkan selama 30 menit, lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 1400  oC. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai PH netral, kemudian dikeringkan dengan dengan oven suhu 700 oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir dari kitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan (Kompas, 2006)
  
Kitosan yang sudah berupa serbuk dapat langsung diapikasikan ke produk perikanan yang akan diawetkan dengan merendam hasil perikanan dalam larutan kitosan 1,5 % selama 10 menit. Larutan kitosan ini dapat digunakan berkali-kali sampai habis. Pemanfaatan limbah kulit ini dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada pengawetan ikan, daya simpan ikan untuk ikan kering adalah tiga bulan sedangkan untuk  ikan basah daya simpannya selama tiga hari dengan kadar es yang relatif sedikit dibandingkan tanpa menggunakan kitosan. Atas dasar itulah kualitas produk hasil perikanan di Indonesia menjadi semakin baik. Selain itu, ikan yang diawetkan dengan kitosan tampak lebih segar daripada ikan tanpa kitosan. Ikan yang tidak diawetkan dengan kitosan dihinggapi lalat sehingga terbebas dari penularan berbagi macam penyakit yang dibawa lalat. Ikan  yang sudah diawetkan dengan kitosan kesehatannya lebih terjamin karena kitosan tidak mengandung zat karsinogenik (penyebab kanker) sehingga makanan lebih aman dikonsumsi. Selain itu, kitosan lebih efektif menghambat pertumbuhan jamur atau bakteri dan dapat menyerap kolestrol serta lemak sehingga mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan stroke.



Manufacturing Our Potential Fisheries Harvest


Fisheries is applied knowledge that has purpose to develop fisheries better. We have fisheries wealth in land and sea. As we know, our country has ¾ water. It’s meaned that our water are bigger than our land. So, our country has thousands even millions fisheries wealth but we have explored them yet. Our potential fisheries don’t manufacture it to be something useful. Most of them only sell in fresh. But fresh fisheries harvest don’t have long lifeshelf. Because of that, we need to learn to make it have high value.
Fish is a animal which has high nutrition and good fat for human’s brain. Fish has high protein than meat and has long chain with Omega-3 for smart brain. Beside it, fish also has soft teksture so can be disgested and absorbed easily. Fish needs processing to make it fresh long because fish will be spoiled in 6 hour after died in room temperature.
Actually in case, our potential fisheries can be divizen for our country, so fisheries harvest technology is important to be learned more. For example beside fish, our country has explored sea cucumber to be muscle crispy chips, chitosan from kitin substance of crustacean skin to make fisheries harvest fresh lasting, our water invertebrate such as sand dollar and sea star to be accessories, and something useful else but we’ve developed them yet.
Processing our harvest still in traditional like making salt-fish by depending sun shine. However, it will have low value. Instead, we’ll process it to be sarden, smog-fish, ‘pindang’, sosis, peda-fish or simple processing such as meatball, crispy chips, and noodle. It will have high value than sell in fresh. Side alternative for unselected fish can manufacture to be ‘surimi’. Demand exporting fresh fish rise high and high every year, if no have special handling, importer won’t accept it because they also have standards. So we have to learn more about handling our harvest. It can freshed by high frozen and we also have to select it carefully.
For conclusion, fisheries diversity need to develop by processing to be something that can have high value, because no imposible our fisheries wealth can reduce poverty in our country.