Senin, 15 Agustus 2011

Selaksa Binar Bahagia yang Pulang Part II


            Seorang perempuan menepuk pundakku pelan. Aku terkesiap kaget lalu membalikkan tubuh kurusku. Perempuan itu tersenyum, manis sekali meskipun bibirnya sangat pucat. Dia mungkin masih seusia denganku tapi tubuhnya terlihat rapuh namun sorot matanya bersinar penuh semangat.
            ”Sedang apa sendirian disini?” Perempuan itu bertanya seraya  merapikan topi rajut yang menutupi sebagian kepalanya.
            ”Kenalkan, namaku Midi,” ujarnya seraya mengulurkan tangan. Kusambut uluran tangannya dengan senyum kecut. Ah, mengganggu saja sih orang ini, keluhku dalam hati.
            Midi masih tersenyum menunggu jawabanku. Dia tersentak kaget saat aku melepaskan tangannya dengan kasar dan berteriak-teriak marah.
            ”Lo, lo, ngapain elo ndeketin gue. Mau jadi dewa penolong?” teriakku sambil mengacungkan telunjukku ke mukanya yang pucat. ”Pergi saja dari sini! Jangan pernah ganggu urusan gue. Ngerti?” ujarku menambahkan.
            ”Kamu punya masalah? Seberat itukah hingga kamu ingin mengakhiri hidupmu dengan jalan seperti ini?” Midi masih saja tersenyum, dia sama sekali tidak merasa tersinggung.
            ”Oh, ternyata elo sudah mengerti apa yang bakal gue lakuin dan sekarang elo pengen menjadi malaikat penolong?” sindirku.
            Dia hanya tersenyum menanggapi sindiranku. Aku menceritakan semua yang aku alami seraya menangis. Aku berteriak-teriak marah karena dia sudah menggagalkan rencanaku. Midi mengangguk mengerti, sesekali matanya menerawang untuk memahami penderitaanku yang tak kunjung berakhir. Midi merangkul bahuku untuk meredakan tangisku. Setelah aku puas mengeluarkan keluhanku, tak terasa aku merasa sangat lega. Seperti ada sebagian beban yang jatuh.
            Midi menghela napas panjang.
            ”Kalau kamu ingin memusnahkan nyawamu, maka sebaliknya aku ingin sekali menyambung nyawaku.” Midi mulai bersuara lagi. Dia menceritakan kisah hidupnya yang bagaikan sebuah sinetron.
            Midi tak tahu siapa orang tuanya dan dimana mereka tinggal. Midi ditemukan oleh ibu panti di tepi sungai berbatu di bawah sana. Saat ditemukan usianya masih sekitar tiga tahun, masih sangat kecil untuk bisa mengingat kembali asal-usulnya. Tinggallah dia di panti asuhan bersama belasan anak lain.
            ”Meskipun aku tidak tinggal di rumah besar lengkap dengan fasilitas mewah sepertimu, aku tetap merasa beruntung tinggal disana. Beruntung karena memiliki teman dan ibu panti yang sangat baik disana,” ucapnya penuh semangat.
            Tapi tiga tahun lalu Midi dinyatakan positif mengidap kanker otak. Ternyata kabar itu tak terlalu merisaukan hatinya. Seperti halnya penyakit mematikan lain, Midi divonis oleh dokter. Dokter mengatakan kalau lima bulan ke depan dia akan meninggalkan dunia ini, karena itu dia berusaha menggunakan kesempatan hidupnya yang tinggal beberapa bulan lagi.
            ”Kalau bisa, aku ingin sekali memperpanjang masa hidupku karena aku masih ingin mencari orang tuaku lagi.” Midi mengemukakan alasannya. ”Aku hanya ingin melihat wajah mereka meskipun hanya selintas, tapi aku sudah lupa dengan wajah mereka,” ujarnya menambahkan.
            Midi memandangku sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke sekolompok awan yang menggumpal di langit.
            ”Kamu beruntung...” Midi sengaja tak melanjutkan kata-katanya agar aku bersedia menyebutkan namaku.
            ”Loli.”
            ”Ya Loli, kamu beruntung. Ayahmu masih hidup. Bila ayahmu nantinya terbukti tak bersalah seperti perkiraanmu, dia pasti akan kembali padamu. Setidaknya kamu masih memiliki ayah sedangkan aku tak ingat lagi raut wajah ayahku seperti apa.”
            Midi masih tersenyum menatapku. Tak terasa aku mulai kagum dengannya. Di sisi barat, langit sudah bersemu kemerahan karena matahari akan tenggelam. Midi masih melanjutkan kata-katanya yang menghiburku.
            ”Kamu boleh menganggap ayahku, ayahmu. Dia pasti akan senang bisa punya anak gadis kayak kamu.”
            Ups, bicara apa aku. Apa baru saja aku bersedia berbagi kasih sayang ayah dengan Midi? Baru kali ini aku ikhlas membagi yang aku miliki dengan orang lain. Bahkan dengan orang yang baru saja aku kenal. Baru kali ini pula aku peduli dengan orang lain. Tapi tak apalah. Toh, ayahku pasti akan senang kalau sudah mengenal perempuan sebaik Midi.
            ”Oh, jangan bercanda Loli.”
            ”aku nggak bercanda,” seruku meyakinkan. ”Sekarang bicaralah biar aku bisa tambah tenang.”
            ”Kurasa aku sudah seperti orang yang sok jadi malaikat penolong”
            ”Aku udah nggak ngerasa kayak gitu lagi. Ayolah beri untaian kata lagi biar aku bisa tambah semangat,” bujukku.
            ”Ehm, kalau kamu merasa hidupmu seperti mimpi buruk, maka bangunlah. Jangan kelebihan tidur nanti pikiranmu tak muncul-muncul ke kehidupan nyata. Bangunlah Loli! Mulailah hari-hari barumu dengan senyum tulus. Pasti kamu sudah lupa cara tersenyum dengan manis.” Midi meletakkan kedua ujung telunjuknya di ujung bibirku hingga membentuk sebuah senyuman.
            ”Aku bisa sendiri, Midi!” ujarku sambil tertawa.
            Midi ikut tertawa. Tak terasa tawaku berhasil menjatuhkan beban-bebanku yang menggunung. Hari ini aku merasa sangat ringan, seringan bulu burung merpati yang hinggap di ujung pohon. Ringan sekali.

***

            ”Hai Loli!”
            ”Hai!” seruku seraya melambaikan tangan. Midi membalasnya dengan tersenyum manis.
            ”Ayo masuk.”
            Midi mengamit lenganku menuju rumah panti. Rumah ini tak terlalu besar tapi cukup teduh dan asri. Di beberapa sudut halaman ditanami berbagai pohon seperti pohon mangga, pohon jambu, pohon rambutan, dan masih banyak lagi. Bunga-bunga seruni yang berbunga putih bersih memperindah teras rumah yang sempit.
            Sesaat aku baru saja memasuki pintu kayu bercat biru, anak-anak panti yang sedang menikmati akhir pekan menyambutku dengan senang. Mereka bergantian memperkenalkan diri seraya menjabat tanganku penuh semangat. Mereka begitu terlihat bahagia. Tertawa riang seraya mengerubungi ibu Ratih yang membawa seloyang roti pandan yang harum seperti kawanan semut yang menemukan gula. Tak ada yang menangisi nasibnya meskipun mereka tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua kandung. Dulu yang ada dalam pikiranku, panti asuhan penuh dengan anak malang yang terus saja menangisi nasibnya yang tak beruntung. Meskipun begitu, mereka memiliki ibu Ratih sebagai pengganti ibu mereka. Dan tampaknya wanita ini sangat tulus sekali menyayangi anak asuhnya yang bahkan tak memiliki hubungan darah dengannya.
            ”Eh jangan rebutan begitu.” Ibu Ratih mengangkat roti yang baru saja dia letakkan di meja tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Tangan kirinya dia gunakan untuk mengatur anak-anak itu membentuk barisan panjang.
            ”Bagus. Sekarang ambil satu-satu jangan ada yang menyerobot,” ucapnya memperingatkan.
            ”Sip..!” Barisan itu bersuara berbarengan seperti regu kor.
            Belum ada lima menit, mereka sudah meghabiskan jatah roti mereka. Tapi meskipun  kelihatannya mereka masih belum puas, anak-anak manis itu tak lupa menyisakan dua potong roti untuk aku dan Midi.
            ”Terimakasih,” ucapku dengan Midi berbarengan.

***

Tak terasa sudah hampir lima bulan aku memiliki sahabat sebaik Midi. Dan selama itu kekagumanku semakin bertambah. Aku sudah hanyut dengan rutinitas baruku dengannya. Setiap tiga kali dalam seminggu, aku menemaninya check up ke rumah sakit. Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku yang tersisa dengan membantu anak panti mengerjakan PR atau membuat roti dengan ibu Ratih, Midi, dan anak panti lainnya yang sepertinya lebih ahli dalam soal ini daripada aku. Aku merenungi hikmah dari semua peristiwa yang menimpaku.
 Terdengar derap langkah menuju kamarku, lalu tak beberapa lama kemudian suara derap langkah digantikan dengan suara pintu diketuk pelan.
”Mbak Loli, ada telepon dari kepolisian.” Bik Inah menyingkap tirai kamarku seraya menyerahkan gagang telepon padaku. Aku menautkan alisku bingung. Tampaknya aku tak melanggar undang-undang, lagipula ini sudah malam. Aku mereka-reka apa yang akan disampaikan polisi ini padaku. Dengan bergetar penuh kecemasan aku mengucapkan salam, lalu selang beberapa detik terdengar suara berat di seberang sana. Seperti biasa para polisi tak pernah berbelit-belit dalam menyampaikan sesuatu, jadi tak berapa lama kemudian laki-laki di seberang sudah mengucapkan salam untuk mengakhiri pembicaraan kami.
”Terimakasih, Pak. Selamat malam,” ucapku tersenyum lega seraya meletakkan gagang telepon. Senyum bahagia tak pernah lepas dari bibirku sejak aku mendengar berita itu. Berita yang membuat binar-binar kebahagiaan akan kembali padaku.
 Setelah melalui persidangan beberapa kali akhirnya ayah terbukti tak bersalah. Ternyata ada salah satu relasinya yang ingin mencelakainya. Tapi aku sudah memantapkan diriku untuk tidak membenci orang yang menjebak ayah. Karena bila semua ini tak terjadi mungkin aku masih menjadi Loli yang dulu, Loli yang sempurna tapi memiliki hati yang jauh sekali dari sempurna.
            Hatiku sangat gembira sampai hatiku seperti ingin meloncat keluar saking girangnya. Dengan kecepatan maksimum aku mengemudikan mobil tuaku menyusup melalui jalan raya yang disinari lampu-lampu hias di kanan kiri jalan. Beberapa kali mobilku harus menyelinap diantara beberapa truk, mobil lain, maupun motor-motor yang masih saja memenuhi jalan padahal angka digital pada jam tanganku sudah menunjukkan angka dua puluh dua. Setelah beberapa menit melewati jalan yang masih basah karena sisa air hujan dua jam lalu, aku mermarkir mobilku di depan kantor polisi di samping mobil biru putih yang terhias lampu sirine di atasnya. Aku berlari secepat aku bisa karena tak sabar ingin melihat wajah ayah yang sudah sangat aku rindukan. Terbayang rencana-rencana indah yang akan aku lewatkan bersama ayah mulai esok pagi.
            ”Selamat malam, Pak! Dimana ayah saya?” Sesampainya di depan salah satu meja polisi aku langsung menyerbunya dengan pertanyaan dasar. Aku sudah tidak sabar ingin melihat raut teduh ayahku.
            Laki-laki berwajah tegas di depanku itu tersenyum seraya menunjukkan tangan ke arah laki-laki paruh baya yang kurus dengan gurat wajah yang tersenyum bahagia. Aku berlari mengahampiri dan memeluknya. Bulir-bulir air mata bahagia mengalir dari ujung mataku. Ini pertama kalinya aku menangis lagi sejak aku memantapkan diriku untuk tidak menangis sejak aku bertemu Midi. Tapi sekarang keadaannya sudah berbalik, aku menangis karena bahagia.. Salah satu yang membuatku ingin sekali melompat ke langit untuk berterimakasih pada Tuhan adalah saat aku tersadar kalau akan memiliki ayah lagi. Meskipun Mamaku tak akan kembali, setidaknya aku masih bisa merasakan kasih sayang orang tua.

***

            Mentari sudah menghangatkan bumi lagi, berkas sinarnya menembus jendela kaca yang ada di samping kamarku. Aku menggeliat karena malas bangun tapi setelah aku ingat akan kehidupan baruku, aku meloncat dari kasurku dan berlari ke bawah untuk mencari ayah. Di hari yang cerah itu aku melewatkan hariku dengan berlibur bersama ayah. Pada hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya aku tak pernah bosan menghabiskan hari liburku yang hampir habis bersama ayah seolah-olah aku sudah terpisah selama berabad-abad dengannya. Aku berharap kehidupan yang baru aku mulai ini tak akan berakhir dengan kesedihan lagi.
           
***

            Aku mengangkat ponselku yang bergetar.
            ”Halo! Selamat sore.”
            ”Selamat sore, ini saya ibu Ratih.”
            Mendengar suara di seberang menyebutkan namanya aku mulai rindu dengan suara lembut itu. Aku tersadar kalau aku sudah cukup lama tak mengunjungi rumah panti seolah-olah aku sudah lupa karena terhanyut dalam dunia baruku.
            ”Oh, saya senang sekali ibu menelepon. Saya sudah sangat kangen dengan ibu,” ujarku mengeluarkan semua yang sedang aku rasakan.
            ”Ibu juga. Kemana saja kamu akhir-akhir ini sampai tak sempat mengunjungi kami? Ibu dengar ayah kamu sudah bebas. Ya, saya maklumlah dengan keadaanmu saat ini.”
            ”Terimakasih, Midi dimana? Apa dia di belakang ibu? Saya ingin sekali berbicara dengannya.”
            ”Itulah tujuan saya menelepon. Aduh, saya kok jadi lupa begini ya? Sekarang Midi di rawat di rumah sakit yang biasanya. Ibu harap kamu mau menemaninya di saat....”
Ibu Ratih tersedu. Aku mendengar suara pelan tangisnya. ”Mungkin hidupnya sudah tak lama lagi,” ucapnya melanjutkan dengan suara gemetar.
            ”Saya akan segera kesana.”
            Terdengar suara gagang telepon ditutup. Aku melakukan hal yang sama lalu beranjak dari dudukku. Saat aku akan mengambil kunci mobil, aku teringat dengan janjiku pada Midi saat di atas jembatan. ’Kamu boleh menganggap ayahku, ayahmu. Dia pasti akan senang bisa punya anak gadis kayak kamu.’ Kata-kata yang mengandung janji itu terngiang di ingatanku. Sekarang aku harus menepati janjiku. Kau akan memiliki ayah Midi, meskipun bukan ayah kandungmu tapi kuharap kau senang karena bisa memiliki ayah lagi. Aku menekan beberapa digit nomor lalu setelah tersambung, aku menyampaikan janjiku pada ayah dan memintanya untuk menemuiku di rumah sakit. Ayahku setuju meskipun pekerjaannya masih menumpuk.

***

            Aku berlari melewati lorong-lorong yang berbau obat. Dinding putih dan putih terlihat di kanan kiri jalan yang aku lewati. Aku terus berlari seolah-olah tak ingin melewatkan sisa detik, menit, jam, dan bahkan mungkin hari bila Tuhan mengijinkan untuk bersama Midi. Ibu Ratih berdiri dengan raut muka yang tak pernah aku lihat sebelumnya di depan ruang UGD. Wajahnya begitu layu dan di sudut matanya terlihat air mata yang sudah mengering. Apakah waktunya sudah tiba? Apakah aku sudah terlambat? Aku mohon aku ingin melihatnya lagi. Jangan ambil nyawanya dulu, Tuhan. Saat aku sudah sampai di depan Ibu Ratih, ayahku sudah berdiri di belakangku. Aku tak boleh membuang waktu lagi. Aku cepat-cepat masuk ke ruangan serba putih diiringi dengan ayah di belakangku.
            ”Loli...! Benarkah itu kau?” Midi bertanya dengan sangat pelan seraya tersenyum.
            Aku hanya mengangguk karena tak sanggup berkata-kata sejak melihat kondisinya yang terlihat sangat lemah. Dia terbaring di kasur putih dengan selimut yang senada. Wajahnya sepucat selimut yang menyelubunginya.  Selang-selang kecil menempel di pergelangan tangan Midi yang kurus. Hal yang membuatku semakin bergidik adalah suara  monitor yang terus saja berdetak seiring detak jantungnya. Layar monitor yang menampilkan garis-garis tak beraturan seperti rumput teki. Aku harap tetap begitu karena aku tak tega melihat monitor itu menampilkan garis lurus dengan diringi bunyi tut panjang.
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum, aku tak sanggup berbicara sejak aku memasuki ruangan ini. Aku terpaku sedih melihatnya berbaring lemas tak berdaya.
            ”Aku tak mau melihatmu menangisi keadaanku.”
            Aku terburu-buru mengusap bulir-bulir air mata yang menetes melalui mataku. Kupaksakan untuk tersenyum meskipun saat ini sangat sulit sekali untuk tersenyum.
            ”Tolong berjanjilah padaku!”
            Aku meraih jemarinya yang semakin kurus.
            ”Berjanjilah untuk tidak menangis bila aku pergi.”
            Aku mengangguk meskipun akan sangat sulit untuk melakukannya. Ayah menepuk pundakku untuk membuatku tegar. Tepukannya mengingatkanku dengan tujuannya datang kemari.
            ”Midi, ini ayahku.”
            Aku mulai sanggup bicara karena aku sudah tak sabar menepati janjiku.
            ”Aku pernah janji sama kamu, kalo ayahku juga ayahmu. kamu mau kan jadi saudaraku?”
            Midi tersenyum seraya mengangguk seolah-olah akan mengatakan kalau dia sangat setuju dengan tawaranku. Tapi dia hanya bisa mengungkapkan kegembiraannya dengan tersenyum. Ayah mengelus tempurung kepala Midi yang tertutup topi rajut.
Matahari hampir tertelan oleh bumi, angin semilir menyibak kain gorden, menyusup melalui jendela kaca dan membawa oksigen yang terakhir untuk sahabat yang sangat aku cintai, Midi.

Selaksa Binar Bahagia yang Pulang


Pernahkah kau merasa kehidupanmu terasa sangat berat sehingga kau ingin mengakhiri hidup? Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku berdiri mematung memandangi sungai berbatu dari atas jembatan. Sesekali angin sore berhembus semilir membelai rambut panjangku yang tergerai. Jembatan ini sudah sepi bila sore menjelang. Jadi kuharap tak akan ada orang yang sok berjiwa peri yang akan berusaha setengah mati menggagalkan rencanaku. Aku memejamkan mata berharap niatku tak digagalkan dengan peri-peri baik dalam hatiku karena disinilah aku berniat mengakhiri hidup. Hidupku terasa sangat berat, berat sekali hingga aku merasa tak dapat lagi menanggungnya. Cobaan datang bertubi-tubi seperti mimpi buruk yang tak berujung.
            Saat aku memejamkan mata, bayang-bayang kisah lampau yang mengakhiri kehidupan sempurnaku berkelebat terngiang dalam pikiranku. Dulu sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi, aku selalu merasa semua orang iri dengan kehidupanku yang mendekati sempurna. Mungkin karena itu aku tumbuh menjadi sosok yang sombong dan suka meremehkan orang. Banyak orang entah itu perempuan atau laki-laki yang jelas mereka sangat ingin berteman denganku tapi aku hanya memilih yang terlihat pantas saja denganku.
Ayahku seorang pejabat negara yang pasti sangat kaya sehingga selalu bisa mencukupi kebutuhanku bahkan dapat membelikan apapun yang aku mau. Aku hanya tinggal menunjuk ini dan itu dan dalam sekejap aku dapat mendapatkan semua yang aku inginkan. Seperti pejabat lain, aku tinggal di perumahan elit dengan segala gaya hidup yang serba mewah. Setiap hari aku dan teman-teman yang beruntung karena terpilih menjadi temanku, selalu melewatkan weekend dengan hang out ke mall dan tempat-tempat clubbing hingga tengah malam. Mamaku hanya seorang ibu rumah tangga, tapi Mama adalah sosok ibu yang diidamkan semua anak. Mama sangat baik dan selalu mendukungku. Wanita yang melahirkanku ini juga tak pernah melarang atau bahkan memarahiku bila aku pulang dalam keadaan mabuk dan langit sudah akan dihiasi dengan mentari lagi karena meskipun aku sudah pantas disebut bad girl tapi aku selalu bisa mendapatkan juara kelas tiap akhir semester. Jadi Mama tak pernah protes dengan tingkah amburadulku.
            Tapi seperti yang sudah aku katakan, perfect life itu dulu dan sekarang semua itu sirna dalam sekejap, secepat ayahku menuruti setiap keinginanku. Kesempurnaan itu memudar sejak ayahku terbukti terlibat dalam kasus korupsi.
Aku masih ingat, siang itu matahari begitu terik jadi aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah sekolah usai. Aku mengendarai jazz merahku dengan kecepatan tak seperti biasanya. Tapi lama-lama perasaanku tak enak, seperti akan ada kejadian buruk menimpaku. Aku memutar beberapa lagu yang sekiranya dapat menghilangkan keresahanku. Dan benar saja saat aku akan memasuki pintu pagar rumah, banyak orang yang memenuhi halaman rumahku. Mereka berteriak-teriak dan mengata-ngatai ayah dengan kasar sembari melemparinya dengan apa saja yang ada di dekat mereka dan tentunya dengan sorot marah yang terlihat sangat jelas. Kedua tangan ayah diborgol oleh polisi lalu ayah dimasukkan ke mobil polisi yang diparkir di depan pintu pagar dengan paksa. Aku hanya bisa menangis melihat semua kejadian itu dibalik kaca mobil. Aku memejamkan mataku berharap setelah aku membukanya yang aku lihat itu tak sama lagi dengan yang aku lihat sebelumnya. Tapi berkali-kali kucoba, masih tampak sama. Semua itu bukan halusinasiku.
“Tak mungkin ayah terlibat dalam kasus korupsi. Ayah orang yang jujur. Pasti ada orang jahat yang menjebak ayah,” teriakku marah.
            Ibu terduduk lemas di teras rumah seraya menangis dan berteriak-teriak. Orang-orang itu juga melempari ibu seakan-akan ibu juga ikut terlibat dalam kasus ini. Raut marah terpancar dari wajah mereka. Oh, apa yang orang itu lemparkan ke arah ibu?
            Sebutir batu tajam terlempar ke arah ibu dan mengenai tengkuknya. Darah mengucur deras merembes ke punggungnya. Beberapa detik kemudian ibu tergeletak tak sadarkan diri. Aku berlari menghampiri ibu setelah mengehempaskan pintu mobil dengan keras.
            “Tolong…! Tolong…!”
            Aku berteriak-teriak meminta tolong tapi orang-orang yang memenuhi rumah kami meninggalkan kami seolah-olah kami orang jahat yang tak pantas mendapatkan bantuan mereka. Polisi yang menangkap ayah berlari ke arah kami untuk menolong ibu. Sementara polisi yang lain menelepon rumah sakit. Ayah hanya bisa memandang ibu dengan pilu. Sorot matanya membersitkan permintaan maaf yang besar.

***

            “Maaf, kami tak bisa menolong ibu Anda.”
            Dokter meminta maaf padaku. Rasa bersalah sangat terlihat dari raut wajahnya yang mulai mengeriput. Aku seperti terjebak dalam mimpi terburuk yang pernah aku alami. Aku memandangi laki-laki berjubah putih yang ada di depanku dengan bengong dan raut muka tak percaya.
            “Tabahkan hatimu ya, Dik!”
            Seorang suster merengkuh pundakku untuk menenangkan.
            ”Ikhlaskan kepergian ibu adik agar ibu adik bisa tenang disana,” ujarnya melanjutkan seraya mendudukkanku di kursi tunggu. Air mata sudah tak bisa menetes lagi dari mataku yang sudah mengering. Sudah berjam-jam aku menangis sejak siang kelabu itu hingga tak ada lagi air mata yag tersisa untuk melanjutkan tangisku.
            Aku hanya ditemani Bik Inah di ruang makan. Tak ada lagi Mama yang terkadang menyuapiku atau ayah yang menuangkan jus alpukat kesukaanku. Kenangan-kenangan indah bersama mereka berkelebat dalam pikiranku. Semua itu tak akan kembali lagi. Aku harus meyakinkan diriku kalau semuanya sudah berakhir, aku harus menerima kenyataan pahit ini.
             Mulai saat itu pertama kalinya aku merasa menjadi orang yang paling tak beruntung sedunia. Rumah mewah di perumahan elit terasa sangat mengerikan bagiku. Aku tak ingin kekayaan ini lagi, aku hanya ingin ayah dan Mama kembali disini menemaniku. Tapi semua itu hanya akan menjadi kenangan. Ya, kenangan yang tak akan terulang lagi. Aku mencubit lenganku untuk membuktikan apakah semua ini benar-benar nyata. Tapi beberapa detik kemudian aku meringis kesakitan. Sejenak aku berpikir, apa ayah korupsi untuk memenuhi semua keinginanku yang ada-ada saja dan semakin menggila hari demi hari? Tidak, ayah tak mungkin melakukan perbuatan hina itu.

***

            Rentetan peristiwa mengerikan itu masih tertancap jelas dalam ingatanku bahkan mulai saat itu aku sudah lupa bagaimana rasanya bahagia. Aku kehilangan napsu makan sehingga aku terlihat kurus seperti lidi berjalan. Bik Inah, pembantuku yang setia selalu membujukku untuk bersemangat lagi. Tapi semua perkataannya hanya mampir saja di telingaku, kalau ada angin yang lewat kata-kata itu akan terbang entah kemana.
            Ternyata tak hanya sampai disini penderitaanku. Teman-temanku mengucilkanku dan lebih parahnya lagi mereka selalu menghindar bila kudekati seolah-olah aku memiliki penyakit menular yang mematikan jadi mereka harus menjauh dariku lebih kurang seratus sentimeter agar tak tertular virus yang sudah menyatu dengan tubuhku. Aku sangat sakit hati apalagi teman-teman pilihanku juga ikut menghindar. Mungkin begini rasanya menjadi orang yang tak dianggap.
            Suara tiap guru yang sedang menerangkan pelajaran selalu terdengar sayup-sayup di telingaku. Pikiranku melayang-layang hingga tak dapat memahami apapun yang diterangkan. Akibatnya nilai-nilaiku menurun drastis seperti roket yang turun ke bumi. Beruntunglah semua guru masih prihatin dengan keadaanku. Mereka selalu menghiburku dan juga tak lupa memberikan kata-kata penyemangat. Tapi sayangnya seperti biasa, kata-kata itu tak mau tinggal ke dalam benakku. Hanya mampir saja beberapa menit lalu terbang terbawa angin.
            Beberapa minggu kemudian, aku mengikuti ujian nasional. Aku belajar keras supaya lulus dengan nilai yang memuaskan. Kubaca semua buku yang tertumpuk rapi di meja belajar berharap mampu mengingat atau setidaknya memahami tiap isi buku. Dulu aku mudah sekali memahami tiap isi buku-buku itu, tapi entah kenapa sekarang otakku seperti tersengat lebah. Kaku sekali tak bisa berpikir, yang aku ingat hanya rentetan peristiwa yang seperti mimpi buruk itu. Peristiwa-peristiwa itu sepertinya betah sekali menempel dan memenuhi ingatanku hingga hal-hal yang lain tak dapat memasuki ingatanku. Dan seperti yang kau duga, aku tidak lulus ujian.
            Sudahlah, aku sudah bosan dengan semua cobaan ini. Ini terlalu berat, aku tak mampu lagi menanggungnya. Mungkin seperti ini yang dirasakan orang-orang yang ingin mengakhiri hidup.
             Aku tak ingin hidup lagi. Aku bosan Tuhan, aku bosan, aku sudah tak kuat lagi, jerit hatiku. Aku mulai memikirkan cara-cara untuk bunuh diri. Semula aku ingin gantung diri tapi setelah aku pikir lagi, aku mengurungkan niatku. Aku ingin mati tanpa mengalami penderitaan yang lama dulu, apalagi kalau gantung diri nanti mataku akan melotot terus lidahku menjulur seperti kadal. Ih, membayangkannya saja aku sudah ngeri sendiri. Lalu aku mencoba untuk meminum pil tidur sebotol penuh, tapi Bik Inah memergokiku saat akan menata kamarku.
            Cara ini langsung terlintas ke dalam benakku setelah semua rencanaku gagal. Terjun dari ketinggian lebih kurang lima meter dari jembatan ini ke dalam sungai yang dihiasi batu-batu besar. Mungkin inilah cara yang paling bagus. Begitulah pikirku.