Senin, 15 Agustus 2011

Selaksa Binar Bahagia yang Pulang


Pernahkah kau merasa kehidupanmu terasa sangat berat sehingga kau ingin mengakhiri hidup? Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku berdiri mematung memandangi sungai berbatu dari atas jembatan. Sesekali angin sore berhembus semilir membelai rambut panjangku yang tergerai. Jembatan ini sudah sepi bila sore menjelang. Jadi kuharap tak akan ada orang yang sok berjiwa peri yang akan berusaha setengah mati menggagalkan rencanaku. Aku memejamkan mata berharap niatku tak digagalkan dengan peri-peri baik dalam hatiku karena disinilah aku berniat mengakhiri hidup. Hidupku terasa sangat berat, berat sekali hingga aku merasa tak dapat lagi menanggungnya. Cobaan datang bertubi-tubi seperti mimpi buruk yang tak berujung.
            Saat aku memejamkan mata, bayang-bayang kisah lampau yang mengakhiri kehidupan sempurnaku berkelebat terngiang dalam pikiranku. Dulu sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi, aku selalu merasa semua orang iri dengan kehidupanku yang mendekati sempurna. Mungkin karena itu aku tumbuh menjadi sosok yang sombong dan suka meremehkan orang. Banyak orang entah itu perempuan atau laki-laki yang jelas mereka sangat ingin berteman denganku tapi aku hanya memilih yang terlihat pantas saja denganku.
Ayahku seorang pejabat negara yang pasti sangat kaya sehingga selalu bisa mencukupi kebutuhanku bahkan dapat membelikan apapun yang aku mau. Aku hanya tinggal menunjuk ini dan itu dan dalam sekejap aku dapat mendapatkan semua yang aku inginkan. Seperti pejabat lain, aku tinggal di perumahan elit dengan segala gaya hidup yang serba mewah. Setiap hari aku dan teman-teman yang beruntung karena terpilih menjadi temanku, selalu melewatkan weekend dengan hang out ke mall dan tempat-tempat clubbing hingga tengah malam. Mamaku hanya seorang ibu rumah tangga, tapi Mama adalah sosok ibu yang diidamkan semua anak. Mama sangat baik dan selalu mendukungku. Wanita yang melahirkanku ini juga tak pernah melarang atau bahkan memarahiku bila aku pulang dalam keadaan mabuk dan langit sudah akan dihiasi dengan mentari lagi karena meskipun aku sudah pantas disebut bad girl tapi aku selalu bisa mendapatkan juara kelas tiap akhir semester. Jadi Mama tak pernah protes dengan tingkah amburadulku.
            Tapi seperti yang sudah aku katakan, perfect life itu dulu dan sekarang semua itu sirna dalam sekejap, secepat ayahku menuruti setiap keinginanku. Kesempurnaan itu memudar sejak ayahku terbukti terlibat dalam kasus korupsi.
Aku masih ingat, siang itu matahari begitu terik jadi aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah sekolah usai. Aku mengendarai jazz merahku dengan kecepatan tak seperti biasanya. Tapi lama-lama perasaanku tak enak, seperti akan ada kejadian buruk menimpaku. Aku memutar beberapa lagu yang sekiranya dapat menghilangkan keresahanku. Dan benar saja saat aku akan memasuki pintu pagar rumah, banyak orang yang memenuhi halaman rumahku. Mereka berteriak-teriak dan mengata-ngatai ayah dengan kasar sembari melemparinya dengan apa saja yang ada di dekat mereka dan tentunya dengan sorot marah yang terlihat sangat jelas. Kedua tangan ayah diborgol oleh polisi lalu ayah dimasukkan ke mobil polisi yang diparkir di depan pintu pagar dengan paksa. Aku hanya bisa menangis melihat semua kejadian itu dibalik kaca mobil. Aku memejamkan mataku berharap setelah aku membukanya yang aku lihat itu tak sama lagi dengan yang aku lihat sebelumnya. Tapi berkali-kali kucoba, masih tampak sama. Semua itu bukan halusinasiku.
“Tak mungkin ayah terlibat dalam kasus korupsi. Ayah orang yang jujur. Pasti ada orang jahat yang menjebak ayah,” teriakku marah.
            Ibu terduduk lemas di teras rumah seraya menangis dan berteriak-teriak. Orang-orang itu juga melempari ibu seakan-akan ibu juga ikut terlibat dalam kasus ini. Raut marah terpancar dari wajah mereka. Oh, apa yang orang itu lemparkan ke arah ibu?
            Sebutir batu tajam terlempar ke arah ibu dan mengenai tengkuknya. Darah mengucur deras merembes ke punggungnya. Beberapa detik kemudian ibu tergeletak tak sadarkan diri. Aku berlari menghampiri ibu setelah mengehempaskan pintu mobil dengan keras.
            “Tolong…! Tolong…!”
            Aku berteriak-teriak meminta tolong tapi orang-orang yang memenuhi rumah kami meninggalkan kami seolah-olah kami orang jahat yang tak pantas mendapatkan bantuan mereka. Polisi yang menangkap ayah berlari ke arah kami untuk menolong ibu. Sementara polisi yang lain menelepon rumah sakit. Ayah hanya bisa memandang ibu dengan pilu. Sorot matanya membersitkan permintaan maaf yang besar.

***

            “Maaf, kami tak bisa menolong ibu Anda.”
            Dokter meminta maaf padaku. Rasa bersalah sangat terlihat dari raut wajahnya yang mulai mengeriput. Aku seperti terjebak dalam mimpi terburuk yang pernah aku alami. Aku memandangi laki-laki berjubah putih yang ada di depanku dengan bengong dan raut muka tak percaya.
            “Tabahkan hatimu ya, Dik!”
            Seorang suster merengkuh pundakku untuk menenangkan.
            ”Ikhlaskan kepergian ibu adik agar ibu adik bisa tenang disana,” ujarnya melanjutkan seraya mendudukkanku di kursi tunggu. Air mata sudah tak bisa menetes lagi dari mataku yang sudah mengering. Sudah berjam-jam aku menangis sejak siang kelabu itu hingga tak ada lagi air mata yag tersisa untuk melanjutkan tangisku.
            Aku hanya ditemani Bik Inah di ruang makan. Tak ada lagi Mama yang terkadang menyuapiku atau ayah yang menuangkan jus alpukat kesukaanku. Kenangan-kenangan indah bersama mereka berkelebat dalam pikiranku. Semua itu tak akan kembali lagi. Aku harus meyakinkan diriku kalau semuanya sudah berakhir, aku harus menerima kenyataan pahit ini.
             Mulai saat itu pertama kalinya aku merasa menjadi orang yang paling tak beruntung sedunia. Rumah mewah di perumahan elit terasa sangat mengerikan bagiku. Aku tak ingin kekayaan ini lagi, aku hanya ingin ayah dan Mama kembali disini menemaniku. Tapi semua itu hanya akan menjadi kenangan. Ya, kenangan yang tak akan terulang lagi. Aku mencubit lenganku untuk membuktikan apakah semua ini benar-benar nyata. Tapi beberapa detik kemudian aku meringis kesakitan. Sejenak aku berpikir, apa ayah korupsi untuk memenuhi semua keinginanku yang ada-ada saja dan semakin menggila hari demi hari? Tidak, ayah tak mungkin melakukan perbuatan hina itu.

***

            Rentetan peristiwa mengerikan itu masih tertancap jelas dalam ingatanku bahkan mulai saat itu aku sudah lupa bagaimana rasanya bahagia. Aku kehilangan napsu makan sehingga aku terlihat kurus seperti lidi berjalan. Bik Inah, pembantuku yang setia selalu membujukku untuk bersemangat lagi. Tapi semua perkataannya hanya mampir saja di telingaku, kalau ada angin yang lewat kata-kata itu akan terbang entah kemana.
            Ternyata tak hanya sampai disini penderitaanku. Teman-temanku mengucilkanku dan lebih parahnya lagi mereka selalu menghindar bila kudekati seolah-olah aku memiliki penyakit menular yang mematikan jadi mereka harus menjauh dariku lebih kurang seratus sentimeter agar tak tertular virus yang sudah menyatu dengan tubuhku. Aku sangat sakit hati apalagi teman-teman pilihanku juga ikut menghindar. Mungkin begini rasanya menjadi orang yang tak dianggap.
            Suara tiap guru yang sedang menerangkan pelajaran selalu terdengar sayup-sayup di telingaku. Pikiranku melayang-layang hingga tak dapat memahami apapun yang diterangkan. Akibatnya nilai-nilaiku menurun drastis seperti roket yang turun ke bumi. Beruntunglah semua guru masih prihatin dengan keadaanku. Mereka selalu menghiburku dan juga tak lupa memberikan kata-kata penyemangat. Tapi sayangnya seperti biasa, kata-kata itu tak mau tinggal ke dalam benakku. Hanya mampir saja beberapa menit lalu terbang terbawa angin.
            Beberapa minggu kemudian, aku mengikuti ujian nasional. Aku belajar keras supaya lulus dengan nilai yang memuaskan. Kubaca semua buku yang tertumpuk rapi di meja belajar berharap mampu mengingat atau setidaknya memahami tiap isi buku. Dulu aku mudah sekali memahami tiap isi buku-buku itu, tapi entah kenapa sekarang otakku seperti tersengat lebah. Kaku sekali tak bisa berpikir, yang aku ingat hanya rentetan peristiwa yang seperti mimpi buruk itu. Peristiwa-peristiwa itu sepertinya betah sekali menempel dan memenuhi ingatanku hingga hal-hal yang lain tak dapat memasuki ingatanku. Dan seperti yang kau duga, aku tidak lulus ujian.
            Sudahlah, aku sudah bosan dengan semua cobaan ini. Ini terlalu berat, aku tak mampu lagi menanggungnya. Mungkin seperti ini yang dirasakan orang-orang yang ingin mengakhiri hidup.
             Aku tak ingin hidup lagi. Aku bosan Tuhan, aku bosan, aku sudah tak kuat lagi, jerit hatiku. Aku mulai memikirkan cara-cara untuk bunuh diri. Semula aku ingin gantung diri tapi setelah aku pikir lagi, aku mengurungkan niatku. Aku ingin mati tanpa mengalami penderitaan yang lama dulu, apalagi kalau gantung diri nanti mataku akan melotot terus lidahku menjulur seperti kadal. Ih, membayangkannya saja aku sudah ngeri sendiri. Lalu aku mencoba untuk meminum pil tidur sebotol penuh, tapi Bik Inah memergokiku saat akan menata kamarku.
            Cara ini langsung terlintas ke dalam benakku setelah semua rencanaku gagal. Terjun dari ketinggian lebih kurang lima meter dari jembatan ini ke dalam sungai yang dihiasi batu-batu besar. Mungkin inilah cara yang paling bagus. Begitulah pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar