Nilai kehidupan hari ini,
dikisahkan seorang wanita karir yang masih lajang bernama Gina. Gina hanya
tinggal dengan ibunya dan seorang pembantu yang merawat ibunya yang sudah
renta.
“Prang.” Ibu Gina memungut panci
yang baru saja tak sengaja dijatuhkannya.
Gina yang baru pulang dari kerja
masuk ke rumah dengan raut marah, “Ibu ngapain sih?”
“Ibu mau masak buat kamu, Nak,”
jawabnya.
“Ngapain sih pake masak segala.
Ini malah bikin berantakan semua. Ngrepotin aja. Udah sana ibu ke kamar aja.”
Si ibu menurut.
“Bibi, buruan kesini,” teriak Gina
sembari berkacak pinggang.
Si bibi menghampiri dengan
tergopoh-gopoh. “Ada apa nyah?”
“Ini rapiin semua ulah ibu,”
perintah Gina.
****
“Iya Pak, selamat malam.” Gina
menjawab telepon dari atasannya.
“Pekerjaan yang saya berikan tadi
sudah kamu kerjakan?” tanya suara di seberang.
“Iya Pak, ini sedang saya
kerjakan.”
“Malam ini harus sudah kamu
selesaikan ya.”
“Baik Pak.”
Gina menutup telepon lantas
terburu-buru membuka lembar pekerjaannya sambil menyalakan laptop. Jari-jarinya
mulai mengetik dengan tergesa-gesa. Selang beberapa menit kemudian, Ibu masuk
ke kamarnya.
“Gina,” panggilnya. Ibu
terbatuk-batuk, tangannya terus saja mengelus-elus dadanya.
“Apa sih, Bu.”
“Ibu minta dikerokin.”
“Apa Bu? Apa enggak bisa liat ini
aku lagi sibuk!” tolak Gina dengan nada meninggi.
“Tapi ibu enggak enak badan, Nak.
Cuma sebentar.”
Gina tetap berkutat pada
pekerjaannya.
“Nak?” panggil ibu lagi. Tiba-tiba
Ibu batuk-batuk keras lalu muntah. Muntahannya mengotori map-map yang tertata
di meja kerja Gina.
“Ih Ibu ini pake muntah segala.
Haduh bagaimana ini pekerjaanku jadi kotor semua. Bibi!” Gina memungut
map-mapnya lalu membersihkannya. Bibi berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber
suara.
“Ini bawa Ibu keluar dari kamarku.
Kerokin juga ya.”
Bibi mengangguk lantas mengajak
Ibu ke kamar. Gina mengunci kamarnya agar Ibu tidak mendatangi kamarnya lagi.
****
Sore itu Gina duduk di teras
sendiri. Tangannya meraih handphone lalu memencet beberapa digit nomor sehingga
terhubung dengan kekasihnya.
“Beb, pokoknya minggu ini kamu
harus melamarku. Aku pengen nikah secepatnya. Aku sudah enggak betah tinggal
sama ibu.”
Suara seberang menjawab, “Iya
sayang, nunggu waktu ya soalnya aku lagi sibuk.”
“Aku juga lagi sibuk sama
kerjaanku dan ditambah lagi ngurusin Ibu. Pokoknya aku mau kamu nikahin aku
minggu ini.” Gina menutup obrolannya karena terganggu dengan suara tangis bayi
di teras rumah seberang.
Gina mengamati seorang ibu yang
sedang menggendong bayinya itu dengan kesal.
“Cup cup sayang. Pipis ya. Coba
Ibu periksa.” Si Ibu diseberang meraba popok bayinya. Terasa basah. Lantas dia
menggantinya dengan yang baru tapi si bayi masih tetap menangis. Si ibu
menggendong bayinya kembali. Mengelus lembut kepala bayinya sembari menenangkan
dengan suaranya yang penuh kasih.
Raut kesal Gina berganti beberapa
detik dengan tatapan tertegun. Dia teringat saat ibunya selalu sabar
membersihkan ingusnya, mencebokinya, menyuapinya meskipun dia selalu saja
menolak makanan yang akan disuapkan padanya, dan masih banyak lagi
kenangan-kenangan yang mengisyaratkan kasih sayang ibunya. Dia segera berlari
menghampiri ibunya. Mengambil baskom berisi air hangat lalu membasuh kaki
ibunya. Ibu memeluk Gina lembut.
“Maafkan aku, Ibu,” ucapnya dengan
tetesan air mata penyesalan.
Dan meskipun seluruh dunia kau berikan, tak
akan pernah bisa membalas kasih sayang ibumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar