Beratus-ratus jejak kaki terpahat, menandakan pantai ini dihuni oleh sekumpulan manusia. Hembusan angin menghapus pahatan jejak kaki, namun buliran pasir akan terpahat oleh jejak lagi dengan lalu lalang penduduk sekitar. Jejak kaki berujung pada hamparan lautan membiru yang luasnya tak dapat dijangkau oleh mata. Lengkungannya memutus pandangan seakan laut luas tanpa batas. Kawanan burung camar yang mengepakkan sayapnya mengitari laut menjadi indikator gerombolan ikan yang menghuni birunya laut. Kawanan itu satu per satu terjun menyelam ke laut lantas dengan sigap naik lagi ke langit dengan ikan segar yang terjepit diantara dua katup paruhnya. Seakan tak mau kalah dengan burung, nelayan melepas tali perahu bersiap untuk berlayar. Perahu kayu sederhana yang hanya menampung beberapa kilogram ikan saja, namun memang sebatas itu saja yang mereka tangkap agar ikan tak habis hanya karena keserakahan.
Langkah-langkah segerombolan bocah kecil berusia dua belasan tahun meramaikan suasana pantai. Banyu, bocah kurus jangkung yang jahil. Dia gemar sekali menaruh cacing tanah di tangan Sekar. Seketika Sekar akan menjerit-jerit berusaha menyingkirkan binatang lunak yang menggeliat itu dengan daun bakau. Sekar satu-satunya perempuan dalam gerombolan ini. Perawakannya kecil tak seperti Banyu. Rambut hitam kemerah-merahannya selalu dikepang dua dengan tali karet sebagai pengikat. Rambut merahnya bukan karena pewarna rambut yang sedang trend saat ini. Pada jaman semasa Sekar kecil belum ada orang yang mengenal pewarna rambut. Rambut merahnya karena paparan sinar matahari yang memudarkan warna asli rambutnya setiap hari. Anggota lain dari gerombolan kecil itu adalah Langit. Langit lebih gemuk dan berambut keriting. Namun di balik keriting itu, tersimpan otak cerdas yang membuatnya selalu ingin tahu dengan apapun. Jadi tak mengherankan apabila Langit mengetahui banyak hal.
Tak jauh dari pantai yang biasa dipakai untuk menyandarkan perahu-perahu nelayan, terdapat hutan mangrove yang lebat nan hijau. Akar-akar mangrove mencuat dari batang layaknya kaki. Akar-akar yang terbenam ini mencegah abrasi apabila sewaktu-waktu ombak laut menderu dengan galaknya karena hembusan angin yang dasyat. Hutan mangrove juga memberi kesejukan dari teriknya matahari pantai sehingga dapat pula menciptakan iklim mikro yang baik. Hutan mangrove menjadi lahan untuk mencari makan selain laut. Penduduk di sekitar hutan biasanya memanfaatkan dahan kayunya untuk dijadikan kayu bakar, tetapi mereka hanya mengambil seperlunya untuk kepentingan sendiri sehingga mangrove tetap tumbuh lebat menghijau. Hutan mangrove yang masih alami ini hidup berbagai biota seperti ikan glodok, udang, kepiting, serta ular.
Di hutan mangrove inilah Banyu, Sekar, dan Langit menghabiskan sisa harinya selepas pulang Sekolah Rakyat. Mereka membenamkan kaki-kaki telanjangnya ke lumpur di kawasan payau ini untuk mencari kepiting bakau lantas membakarnya dengan kayu bakau sebagai tungku. Rasanya yang manis membuat mereka tak menghiraukan badan kotor bersimbah lumpur. Lumpur-lumpur itu malah menjadi media bermain yang mengasyikkan bagi mereka. Lima perangkap yang mereka pasang kali ini hanya menjerat dua kepiting bakau. Setelah mereka mengambil hasil tangkapannya, tak lupa memangkas dahan bakau untuk dijadikan kayu bakar.
“Hei Banyu, jangan kamu tebang semua dahan-dahan itu.” Langit menegur setelah melihat keusilan Banyu.
“Emang kenapa?” tanyanya masih memangkas dahan-dahan dengan gaya bak pendekar pedang.
“Nanti bisa gundul.Kamu mau hutan ini jadi gundul?”
“Ah apa urusanku? Lagipula mana mungkin bisa gundul hanya gara-gara dahannya aku pangkasi.”
“Coba lihat laut disana. Kalau tidak ada bakau lagi, tidak ada lagi yang bisa menahan ombak dari laut. Terus kalau itu terjadi, rumah-rumah kita bisa rusak karena ombak-ombak itu. Habis rumah kita, mau tinggal dimana coba?”
Sekar bergidik ngeri. Dia langsung mengiyakan nasehat Langit.
“Sudahlah Banyu ayo ke pantai saja. Kita bakar kepiting-kepiting ini.”
Banyu menghentikan ulahnya lantas mengikuti Langit dan Sekar berjalan menuju pesisir.
***
Genap enam tahun Banyu, Sekar, dan Langit menimba ilmu di sekolah Rakyat yang dibangun di kawasan pesisir. Tibalah saatnya mereka untuk mengucapkan selamat tinggal dengan penuh rasa terimakasih kepada guru-guru mereka yang ikhlas bekerja dengan gaji sangat minim. Mereka beruntung pemerintah berbaik hati membangun sekolah di kawasan ini, meskipun sangat sederhana berdindingkan bambu dan hanya mempunyai dua guru. Sekolah berbambu ini hanya memiliki dua ruang sebagai kelas, tanpa kamar kecil ataupun perpustakaan seperti sekolah-sekolah pada era ini. Buku-buku tua yang lapuk dimakan jaman tersimpan rapi di dalam lemari kaca laiknya barang yang berharga. Murid-murid sangat gembira saat Bu Yan mengijinkan mereka membaca buku-buku yang banyak bercerita tentang laut dan pesisir itu, tak terkecuali Langit.
Seperti halnya anak lain seusai tamat Sekolah Rakyat, Banyu, Sekar, dan Langit bekerja untuk membantu perekonomian keluarga mereka. Impian besar mereka seperti dihantam batu besar sehingga tak akan dapat terwujud. Banyu yang ingin menjadi pendekar. Sekar, si penakut yang ingin menjadi dokter. Dan Langit yang ingin menjadi profesor. Frekuensi bermain mereka pun ikut tergerus menjadi kesibukan mencari uang. Banyu dan Langit membantu ayah mereka berlayar, sedangkan Sekar membantu ibunya membuat ikan asin.
***
“Kedatanganku kemari untuk mengajak Sekar ke kota, Sur. Nanti aku sekolahkan hingga jadi dokter seperti cita-citanya.” Wati, adik dari ayah Sekar mengutarakan maksud kedatangannya.
“Kalau aku ya menurut saja sama Sekar. Sebentar aku panggil dulu.”
Suryo ke samping rumah, tempat biasa istri dan anaknya itu menjemur ikan asin.
“Ada Bu likmu itu. Sana buatkan minum.”
Sekar mengangguk lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan minum. Dua cangkir teh manis hangat diletakkannya pada penampan. Setelah disuguhkan di meja tamu, Sekar mencium tangan bu liknya.
“Sekar, mau tidak ikut Bu Lik ke kota? Biar bisa sekolah lagi. Katanya mau jadi dokter.”
“Mau Bu Lik. Tentu saja Sekar mau. Kapan berangkatnya? Sekarang?” serunya dengan gembira.
Suryo dan Wati yang melihatnya hanya tertawa menanggapi rentetan pertanyaan Sekar.
Wati menginap semalam hari itu untuk melepas lelah. Esoknya dia akan membawa keponakan kesayangannya itu tinggal di kota untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Wati tamatan Sekolah Rakyat juga seperti penduduk lain di peisisir ini tapi nasib baik membawanya ke kota. Beruntung kecantikan Wati yang polos menarik perhatian dokter dari kota besar yang sedang singgah untuk mengabdi di pesisir kala itu. Seusai tugas dokter itu selesai, dia turut serta membawa Wati ke kota, menyenyakkan kehidupan Wati yang biasanya serba kekurangan.
***
Lima belas tahun kemudian,
Sepatu pantovel hitam dengan hak tiga centimeter menapak di jalan beraspal. Tak lama kemudian sosok bersahajanya keluar dari mobil putih mengkilap karena tertimpa sinar mentari. Perempuan muda itu mengenakan celana pantalon dan kemeja serta kacamata hitam untuk meredam terik matahari. Penduduk berbondong keluar dari rumah karena penasaran dengan orang yang datang.
“Pasti orang kota yang mau membabat bakau lagi,” bisik salah seorang pemuda.
“Perempuan, Bang. Masa punya otak kontraktor.”
“Bisa saja. Di kota siapa saja pikirannya duit. Lihat saja itu sinetron yang ada rebutan duit.” Seorang wanita menambahkan.
“Iya bisa saja. Ayo usir saja dia sebelum hutannya makin rusak parah. Ujang, panggil semua warga.”
Saat Ujang hendak berbalik memanggil pemuda desa, suara bernada tak percaya menggagalkan niatnya.
“Sekar?” celetuk Langit dengan nyaring.
Perempuan yang merasa dipanggil menoleh, melepas kacamata hitamnya lantas mencari orang yang memanggil namanya. Dia mendekat ke kerumunan orang, memberikan senyum manisnya yang ramah, dan menyalami mereka satu per satu. Decak kagum pada sosoknya yang sudah nampak sukses membuat mereka tak henti-hentinya bertanya.
“Sekarang katanya sudah jadi dokter ya?”
“Sudah lama tidak pulang. Sudah besar ya sekarang. Pasti sudah sukses juga ya di kota?”
Sekar menjawab pertanyaan mereka satu per satu menghapus rasa penasaran mereka.
“Sekar, aku ingin mengajakmu ke hutan. Aku ingin menunjukkan hutan sekarang tidak seperti dulu lagi.”
Sekar kaget dan langsung saja mau mengekor ke hutan mangrove.
“Orang kota serakah sekali membabat bakau seenaknya saja. Kita sekarang sudah tak punya hutan lagi.”
“Apa untungnya mereka membabat bakau, Lang?”
“Awalnya mereka hanya membabat seperempat bagian hutan untuk dijadikan tambak udang. Tapi sejak ekspor udang besar-besaran, mereka dengan rakus membabat semuanya untuk dijadikan tambak.”
“Tambaknya juga habis?”
Langit mengangguk. Tersenyum sengit karena menguak memori yang sangat dia benci.
“Tambaknya rusak dihantam ombak besar. Dulu aku sering melarang Banyu memangkas dahan bakau karena takut hal ini terjadi. Tapi aku malah tak kuasa melarang ulah-ulah orang kota yang membabat bakau. ”Langit menggeleng kuat-kuat. Terbersit penyesalan yang besar dalam benaknya. “Sekarang tidak ada lagi yang menahan hantaman ombak besar saat sedang pasang. Kami selalu was-was rumah kami akan habis dihantam ombak.”
Sekar bergidik kaget sekali setelah melihat hutan mangrove yang dahulu hijau lebat sekarang menjadi lumpur berpasir yang hanya ditinggali cacing. Tapi lama-kelamaan senyumnya merekah karena mendapat ide.
“Kita tanam saja ribuan bibit bakau disini, Lang. Kita ajak serta warga sini. Mereka pasti ikut mendukung niat kita.”
“Bibitnya?”
“Biar nanti aku yang atur. Sekarang tugasmu membujuk warga sini ikut nanam bakau.”
“Kamu serius?”
Sekar mengangguk meyakinkan.
***
Tibalah hari yang ditunggu Langit. Wajahnya yang sumringah dengan sigap menurunkan bibit-bibit bakau dari mobil dengan bak terbuka. Warga dengan sukacita pula menyambut tiga mobil pengangkut itu. Mereka saling gotong royong menanam ribuan bakau. Harapan besar tersirat dari wajah mereka. Hutan mangrove yang rindang dengan segala biotanya yang hidup alami seperti saat mereka kecil terbayang dalam benak mereka. Tetesan peluh yang menjagung pun tak menyurutkan semangat.
Hingga tahun-tahun berganti meskipun terasa sangat lama, namun kesadaran warga pesisir untuk merawat bakau-bakau yang belum mengakar kuat menjulang tinggi berbuah hasil yang manis. Hutan pelan-pelan pulih seperti sedia kala. Tahun-tahun berikutnya, biota bakau seperti ikan glodok, kepiting, udang, burung camar, dan ular menyinggahi hutan itu. Warga semakin sadar tentang pentingnya sabuk hijau untuk memecah gelombang dari angin timur maupun angin barat. Rumah warga terhindar pula dari hantaman gelombang dasyat itu. Selain itu mereka juga dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan memanfaatkan hutan mangrove tapi masih dalam skala kecil untuk meminimalkan kerusakan hutan mangrove yang kedua kalinya.
Akar bak pondasi kokoh yang menahan terpaan gelombang besar ibarat kaki Tuhan yang melindungi warga pesisir. Di dalam kerindangannya dijadikan tempat bernaung binatang bakau yang mungkin akan ikut punah apabila hutan mangrove juga tergerus oleh jaman. Hutan mangrove menyelamatkan pesisir dan dapat pula menjadi produsen oksigen sehingga dapat disimpulkan, hutan mangrove juga dapat mengurangi dampak global warming yang sedang marak saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar