Kisah ini aku tonton di sebuah
acara salah satu stasiun televisi. Diceritakan seorang perempuan muda berusia
duapuluh tahunan yang berprofesi sebagai musisi. Sebut saja namanya Siska.
Musik baginya adalah piranti yang digunakannya untuk meluapkan perasaan yang
tak bisa dikeluarkan lewat kata-kata. Dia sudah menyukai musik sejak dia kecil.
Biola yang disandarkan pada bahunya, digesek dengan lembut mengalunkan melodi
yang indah. Terbersit perasaannya yang sedang bahagia atau sedih lewat setiap gesekannya.
“Tapi bagi pengamen jalanan, musik adalah piranti untuk mencari sesuap nasi,”
ucapnya.
Suatu hari, Siska dan temannya menyusuri jembatan layang. Tak sengaja dia bertubrukan
dengan seorang pengamen yang buta. Gitar yang dibawanya terjatuh, Siska
buru-buru memungutnya dan minta maaf pada pengamen itu. Pengamen mengangguk
seraya tersenyum. Keesokan harinya, Siska melewati jembatan yang sama. Si
pengamen sedang menyanyi dengan diiringi gitar kecilnya. Siska mendekatinya.
Dia tertegun melihat karton yang tertempel di dekat pengamen. Karton itu
bertuliskan ‘SAYA BUTA. KASIHANI SAYA.’ Baginya musik bukan sebagai piranti
untuk menarik belas kasihan orang. Musik itu indah, indah dan tak pantas
terbayarkan karena belas kasihan pada pemainnya, seharusnya musik terlihat
bernilai dalam bentuk material karena keindahannya. Siska membalik kertas
karton putih itu lantas menuliskan ‘LAGU INI INDAH MESKIPUN SAYA TAK BISA
MELIHATNYA’. Setelahnya, dia ikut
mengiringi pengamen dengan gesekan biolanya. Seketika itu menarik perhatian
pejalan kaki yang melewatinya.